Headline

Pilunya Hidup Janda Miskin di Desa Hoder, Sikka: Tinggal di Rumah Nyaris Roboh, Empat Anak Putus Sekolah, Bertahan Hidup dari Tenun dan Buruh Tani

waktu baca 6 menit
Keterangan foto:Mama Martina saat sedang menenun di halaman rumahnya pada Minggu (04/05/2025) pagi. Foto:Mario Sina.

Sikka-Dalam kondisi hidup serba kekurangan, Mama Martina Bala (53), seorang janda asal Kampung Magesayang, Dusun Wairbleler, Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, harus berjuang membesarkan keempat dari enam anak yang dimilikinya. Mereka tinggal di sebuah rumah berdinding pelupu bambu yang nyaris roboh, dengan lantai tanah dan tanpa fasilitas dasar yang layak.

Suami Mama Martina telah meninggalkan keluarga sejak anak-anaknya masih kecil. Sejak itu, beban sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga harus dipikul sendiri olehnya.

Kondisi rumah yang ia tempati bersama keempat anaknya, Avila Triyanti (20), Elenterius Ronald (24), Oktavia Mikaela (14), dan Marianus Jenoario (13) sangat memprihatinkan. Bangunan berukuran 2,5 x 4 meter tersebut hanya memiliki satu kamar, yang juga difungsikan sebagai tempat penyimpanan pakaian pada kardus-kardus bekas. Sementara anak sulungnya Gabril Nong Gebi (32) sudah berkeluarga dan tinggal di Kelurahan Wolomarang. Ia bekerja serabutan sebagai penjaga toko dan mencetak batu merah.

Hidup dalam kondisi serba terbatas ini, membuat anak kedua Mama Martina, Heriyanto Seno (27), harus merantau menjadi buruh sawit di Kalimantan, agar bisa membantu keluarganya.

Pada Sabtu sore (03/05/2025), wartawan media ini bersama Sekretaris DPP Kuasi Paroki Wairita, Klemens Kheri, mengunjungi kediaman Mama Martina di RT 009, RW 005. Rumah itu terletak sekitar 700 meter dari Gereja Kuasi Paroki Wairita dan 200 meter dari jalan nasional Trans Flores. Saat itu, Mama Martina bersama putrinya Avila yang sejak SD putus sekolah, tengah duduk di halaman rumah setelah selesai memintal benang untuk menenun kain lipa khas Sikka.

Kondisi Rumah dan Kehidupan Sehari-Hari

Keterangan foto:Mama Martina Bala saat berada di samping halamam rumahnya, Sabtu sore (03/05/2025). Foto:Mario Sina.

Bangunan rumah mereka tampak miring dengan dinding pelupu bambu yang sudah lapuk. Tidak ada pintu permanen, hanya dua lembar seng bekas sebagai penutup pintu. Rumah ini juga belum memiliki meteran listrik; untuk penerangan malam hari, mereka menumpang aliran listrik dari rumah Ketua RT setempat, Fransiskus Nong Efendi.

Di bagian belakang rumah, dapur sederhana berdiri tanpa dinding, beratapkan seng bekas, menghadap ke arah kali kering. Untuk mandi dan buang air, mereka harus menumpang ke kamar mandi milik tetangga.

Kondisi ini telah berlangsung sejak 2019, setelah mereka pindah dari tanah milik seorang dermawan dan relawan kemanusiaan asal Belgia yang akrab disapa Mama Belgi yang sebelumnya menampung Mama Martina ketika masih bekerja sebagai pengasuh anak di Panti Asuhan milik Mama Belgi di Watublapi pada tahun 2000 sampai April 2004, lalu dan pindah sebagai pengasuh anak di Panti Asuhan Stela Maris Nangahure Mei 2005 sampai pada Juni 2010 lalu.

Keterangan foto:Tampak kondisi di dalam rumah Mama Martina Bala, Sabtu malam (03/05/2025). Foto:Mario Sina.

Kemudian pindah ke tanah kebun milik Mama Belgi yang berada di sebelah Jembatan Magesayang pada Juni 2010 sampai Februari 2016. Setelah tanah milik Mama Belgi itu dijual ke pihak lain, Mama Martina dan anaknya pindah di tanah kebun milik keluarga dari Februari 2016-pertengahan 2018. Dikarenakan bertengkar dengan keluarga tersebut, Mama Martina dan keempat anaknya pindah tinggal pada salah satu rumah kosong milik salah satu warga di Kampung Magesayang dan tinggal di rumah itu sampai September 2019.

Tanah berukuran 10×20 meter tempat rumah ini berdiri dibeli oleh anak sulung Mama Martina, Heriyanto Seno (27), yang merantau menjadi buruh di Kalimantan. Hasil jerih payahnya itulah yang memungkinkan mereka membangun rumah meski sangat sederhana.

Bertahan Hidup dari Tenun dan Buruh Tani

Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Mama Martina dan anak-anaknya bekerja serabutan di kebun milik tetangga, menanam jagung dan ubi. Selain itu, ia juga menenun kain lipa yang dijual seharga Rp120.00-Rp 300.000 per lembar. Dalam sebulan, ia mampu menghasilkan sekitar 4 lembar. Hasil penjualan digunakan untuk membeli benang, pewarna kain, dan kebutuhan pokok seperti beras.

“Kami sehari masak satu kali saja sampai malam. Kalau ada beras kami bisa makan nasi, kalau tidak makan jagung goreng dengan daun ubi. Yang penting kami bisa makan,” ujar Mama Martina.

Anaknya, Ronald, juga bekerja membantu tetangga dengan mengiris pohon lontar untuk nira pembuatan moke. Ia putus sekolah saat duduk di bangku kelas VIII SMP. Sementara Oktavia, yang sempat bersekolah kelas VIII di SMP Negeri 01 Waigete, terpaksa berhenti karena keterbatasan ekonomi meski mendapatkan bantuan beasiswa PIP.

Dua anak laki-laki Mama Martina kadang harus menginap di rumah teman atau rumah keluarga terdekat karena rumah terlalu sempit untuk ditinggali bersama-sama.

Bantuan Pemdes Hoder Tak Kunjung Datang

Keterangan foto:Kondisi dapur dan bagian belakang rumah Mama Martina Bala. Foto:Mario Sina.

Meski telah terdata sebagai calon penerima bantuan rumah pada Oktober 2023 lalu, hingga kini Mama Martina belum menerima bantuan apa pun dari Pemerintah Desa Hoder.

“Mereka dari kantor desa sudah datang dan foto rumah, katanya akan ada bantuan. Tapi sampai sekarang belum ada bantuan apa-apa,” keluh Mama Martina.

Ia berharap bantuan rumah benar-benar diberikan kepada keluarga yang membutuhkan, bukan justru kepada warga yang lebih mampu.

Sementara itu, Ketua RT 009, Fransiskus Nong Efendi, membenarkan kondisi mengenaskan yang dialami Mama Martina dan keluarganya. Ia mengaku sudah menyampaikan laporan kepada pihak desa, namun belum ada realisasi.

“Semoga ada perhatian dari Pemkab Sikka. Kami sebagai tetangga hanya bisa membantu sebisanya. Kasihan mereka tidur berdesakan dalam rumah yang nyaris roboh,” ucapnya penuh harap.

Pastor dan Umat Kuasi Paroki Wairita Lakukan Aksi Solidaritas

Keterangan foto:Mama Martina Bala bersama pengurus DPP Kuasi Paroki Wairita, Jumat (02/03)2025) sore. Foto:istimewa.

Sekretaris DPP Kuasi Paroki Wairita, Klemens Kheri, mengatakan, informasi mengenai kondisi keluarga ini diketahui pihaknya pada Jumat sore (02/05/2025), usai Misa Pembukaan Bulan Maria di Kuasi Paroki St. Arnoldus Janssen Wairita, dimana Pastor Paroki menerima laporan bahwa rumah yang ditempati Mama Martina Bala dalam keadaan rusak berat dan membahayakan keselamatan penghuninya.

Menindaklanjuti laporan tersebut, Pastor segera mengutus beberapa perwakilan umat, yakni dirinya, Bapak Pisen dan Mama Velixs, untuk melakukan kunjungan langsung ke lokasi.

“Hasil pantauan lapangan membenarkan bahwa rumah tersebut nyaris roboh. Atap dan dinding sudah lapuk, sebagian besar struktur bangunan sudah tidak lagi kokoh. Rumah yang sempit dan gelap itu hanya ditopang dengan bahan seadanya. Di situlah Martina Bala berjuang menghidupi anak-anaknya dari hasil kerajinan tenun yang ia tekuni sendiri di rumah, tanpa kepastian penghasilan harian.

Menurutnya, rumah Mama Martina Bala sudah tidak bisa disebut layak huni. Apalagi jika ada kejadian angin kencang di wilayah ini sedikit pun, rumah tersebut akan roboh.

Ia juga menjelaskan, melihat kondisi ini, Pastor Paroki sudah menyerukan aksi solidaritas umat paroki sebagai wujud nyata Paskah dan Bulan Maria, dimana umat diajak memberikan bantuan dalam bentuk barang seperti seng, paku, kayu, pasir, batu, pelupuh bambu, serta dalam bentuk uang dan tenaga.

“Kami juga berharap ada dukungan dari Pemkab Sikka maupun pihak-pihak yang peduli, agar keluarga Mama Martina bisa punya rumah yang layak huni,” ungkapnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Exit mobile version