Menjadi Konten Kreator Tak Sekadar Salam Interaksi : Waspada Brain Rot dan Pentingnya Literasi Digital
Oleh : Stefanus Ricky Sarianto (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Hasanudin Makassar)
Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Salah satu platform yang paling dominan adalah Facebook, IG dan Tik-Tok, yang kini telah bertransformasi menjadi bagian dari perusahaan Meta.
Dengan fitur-fitur yang terus diperbaharui kini munculnya fenomena konten kreator di berbagai media sosial (Facebook,Ig, Tik-tok) ketika Meta menciptakan fitur monetisasi yakni setiap konten yang di produksi akan menghasilkan uang terlebih jika seseorang yang sudah memiliki banyak pengikut dan berkarya dengan meng-upload video di ketiga media sosial tersebut sedangkan yang belum mempunyai pengikut yang banyak maka strategi salam interaksi akan selalu kita lihat ketika melewati beranda media yang digunakan untuk meningkatkan jangkauan atau For Your Page (FYP) dengan sering mengupload video di media yang digunakan.
Dalam satu dekade terakhir, pekerjaan sebagai konten kreator mengalami perubahan stigma yang signifikan dari yang awalnya diremehkan hingga sekarang menjadi salah satu pilihan karir utama bagi banyak masyarakat entah yang sudah bekerja atau yang masih bersekolah (pelajar/mahasiswa).
Meningkatnya konsumsi dan rekomendasi konten yang menitikberatkan gaya hidup aspirasional, membuat banyak orang menyinonimkan pekerjaan pembuatan konten atau menjadi seorang influencer dengan penghasilan diatas rata-rata.
Hal ini didukung dengan terus meningkatnya harga yang dipatok seorang konten kreator untuk setiap kontennya.
Dengan hadirnya fitur monetisasi tersebut seakan-akan membuat para konten kreator seperti kecanduan untuk membuat sebuah konten agak menghasilkan uang dibandingkan harus terlebih dahulu memperhatikan aspek kelayakan dalam konten yang disajikan.
Povana dan Carbonell, dalam studi mereka “Is Smartphone Addiction really an Addiction ?” menyiratkan bahwa definisi “kecanduan” yang ada saat ini mungkin terlalu sempit untuk menggambarkan fenomena kompleks ini. Istilah popcorn brain menggambarkan kondisi dimana seorang kehilangan fokus dengan pikiran yang terpecah dan tak terarah akibat gangguan dari gadget dan media sosial.
Gadget, dengan notifikasi dan pembaharuan yang terus-menerus, menuntut perhatian kita secara konstan. Hal ini menciptakan siklus di mana kita merasa terdorong untuk terus-menerus memeriksa gadget, bahkan ketika tidak ada alasan yang jelas.
Penulis memperhatikan bahwa akibatnya, kita kehilangan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada satu hal dalam waktu yang lama. Fokus kita terpecah, dan kita menjadi mudah terdistraksi. Terlalu banyak menatap layar gadget, menurut Laurie Ann Manwell, seorang Psikolog asal Kanada yang mempelajari kecanduan dan kesehatan mental, dapat berdampak negatif pada perhatian, konsentrasi, pembelajaran, memori, pengaturan emosi dan fungsi sosial.
Platform Media Sosial dengan gempuran konten pendeknya, telah mengikis rentang perhatian manusia. Dulu, kita mampu menikmati buku tebal dan film berdurasi panjang tanpa gangguan berarti. Kini, pikiran kita melompat dari satu konten pendek ke konten lainnya, tak sanggup lagi fokus pada hal-hal yang menuntut konsentrasi tinggi. Apalagi setiap konten yang disajikan kebanyakan tanpa memperhatikan etika bermedia sosial serta memberikan pengetahuan yang berarti bagi setiap konten yang disebarkan disetiap media sosial.
Seorang konten kreator tentu wajib memperhatikan aspek etika bermedia sosial karena konten yang disebarkan menjadi konsumsi bersama.
Pentingnya etika bermedia sosial bertujuan untuk menciptakan lingkungan digital yang sehat, aman dan produktif dengan cara selalu memberikan edukasi disetiap unggahan, tidak menyebarkan gambar atau video yang tidak etis, serta selalu menciptakan konten yang interaktif dan inspiratif bagi para pengguna media sosial.
Siberkrasi & Deloitte (2020, dalam Kususmastuti dkk (2021) merumuskan etika digital (digital ethics) sebagai kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa menggunakan media sosial atau media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Demi meningkatkan kualitas kemanusiaan. Apalagi di indonesia yang multikultur, maka etika digital sangat relevan dipahami dan dipraktekan oleh semua warga Indonesia.
Maka media sosial bukan hanya tempat untuk berinteraksi dan berbagi informasi, tetapi menjadi medan pertempuran bagi kecerdasan dan ketajaman berpikir. Fenomena ini tidak bisa dipandang hanya sebagai alat hiburan atau komunikasi, melainkan sebagai tantangan besar untuk selalu memperhatikan aspek literasi digital serta ketajaman berpikir yang semakin terancam oleh “brain rot” yang mengerogoti daya analisis kita.
Fenomena Yang Mengubah Cara Berinteraksi.
Media sosial (Facebook, IG dan Tik-Tok), yang kini bertransformasi menjadi bagian dari Meta, telah menjadi salah satu platform terbesar yang menghubungkan miliaran orang di seluruh dunia khususnya masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data dari Statista (April 2024), Facebook memiliki 61,5% pengguna aktif, Instagram memiliki 31,3% pengguna aktif (Statista, Februari 2024) sedangkan jumlah pengguna Tik-Tok di Indonesia tembus di angka 157,6 juta pengguna per Juli 2024 yang dilansir pada laporan bertajuk “Countries with the largest TikTok audience as of July 2024”.
Sebagian besar rakyat Indonesia menggunakan media sosial tersebut, Maka melalui platform ini, individu bisa berbagi informasi, pengalaman, dan membentuk komunitas secara virtual. Namun, seperti halnya alat lainnya, media sosial juga memiliki dampak yang tidak bisa diabaikan.
Media sosial yang memverikan lebih banyak fitur bagi penggunanya, tampaknya telah menciptakan pergeseran dari interaksi yang sebelumnya lebih sosial dan berbasis percakapan menuju konten yang bersifat perfomatif.
Salah satu dampak dari fenomena ini adalah meningkatnya jumlah konten yang lebih mengutamakan popularitas daripada kualitas. Banyak pengguna yang sekarang lebih fokus untuk menghasilkan konten yang sekedar menarik perhatian, bahkan jika itu hanya bersifat hiburan sementara atau tidak memiliki nilai informasi yang mendalam. Hal ini bisa terlihat dari tren konten-konten yang sifatnya viral, seperti tantangan atau video lucu yang hanya bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak tayangan tanpa memberi kontribusi signifikan terhadap perkembangan pengetahuan atau wawasan.
Di satu sisi, ini tentu bisa dianggap sebagai upaya untuk mengeksplorasi kreativitas atau mencari cara baru untuk berinteraksi dengan seseorang di dunia maya. Namun, di sisi lain, terlalu banyaknya konten yang tidak bermanfaat juga bisa menurunkan kualitas interaksi di platform tersebut. Alih-alih saling berbagi informasi yang berguna atau berdiskusi tentang hal-hal yang penting, pengguna lebih cenderung terjebak dalam konsumsi konten yang sekadar mengisi waktu luang tanpa memberikan dampak yang positif.
Tentu saja, tidak semua konten yang dihasilkan oleh para pengguna media sosial yang bertransformasi menjadi bagian dari meta bisa dianggap tidak bermanfaat. Ada juga banyak individu yang menggunakan platform ini untuk berbagi pengetahuan, berbagi ide, atau bahkan untuk tujuan sosial yang lebih besar. Namun, dengan adanya algoritma yang lebih memprioritaskan konten-konten yang memiliki potensi untuk menjadi viral, ini semakin memperparah kecenderungan orang untuk membuat konten yang lebih menonjol di permukaan daripada yang lebih mendalam atau berbobot.
CEO Instagram Adam Mosseri mengatakan dalam sebuah konten, yang lebih penting adalah “value”. Value yang dimaksud yakni bagaimana sebuah konten yang diproduksi memiliki nilai edukasi, hiburan dan video interaktif lainnya bukan sekadar asal posting.
Secara keseluruhan, fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial bisa sangat mempengaruhi cara orang berinteraksi dan berbagi informasi. Di satu sisi, ia memberikan kebebasan lebih untuk berekspresi, tetapi di sisi lain, ia juga membawa tantangan tersendiri terkait dengan kualitas konten dan dampaknya terhadap pola pikir penggunanya. Seharusnya, pengguna dan platform harus berupaya menciptakan keseimbangan antara konten yang menarik secara visual dengan yang benar-benar bermanfaat untuk menciptakan pengalaman yang lebih berarti dalam berinteraksi bukan sekadar mencari untuk meningkatkan views, followers, branding sampai ke open endorse.
Prof. Sherry Turkle, seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan penulis buku “Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other”, mengemukakan bahwa meskipun media sosial seperti Facebook memungkinkan kita untuk tetap terhubung, ia juga dapat mengurangi kemampuan kita untuk berinteraksi secara mendalam. Kebiasaan berbagi status atau foto dalam waktu singkat mengurangi kesempatan untuk merenung dan berdiskusi dengan lebih mendalam. Seiring berjalannya waktu, interaksi yang tadinya bisa memperkaya wawasan kita justru berubah menjadi permukaan yang dangkal.
Gempuran konten yang bersifat perfomatif atau sekedar asal posting tentu akan mempengaruhi kualitas pengguna lainnya apalagi Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna perangkat digital terbesar di dunia. Data menunjukan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan 5,7 jam per hari menggunakan gadget dan menikmati berbagai fitur media sosial yang tersaji, menjadikan negara kita sebagai pengguna perangkat terlama di dunia
pada tahun 2024 menurut laporan “State of Mobile” dari Data.Al.
Sayangnya, tingginya intensitas ini tidak selalu diiringi dengan kualitas konten yang dikonsumsi. Sebaliknya, konten singkat, dangkal dan sensasional semakin mendominasi, menciptakan tantangan baru bagi kesehatan mental kemampuan berpikir manusia.
Brain Rot dan Ancaman Terhadap Ketajaman Berpikir
Di era modern, brain rot diartikan sebagai terkikisnya ketajaman intelektual dan kemampuan berpikir kritis akibat penggunaan teknologi yang berlebihan. Aliran informasi dangkal dan hiburan instan membuat pikiran kita tumpul. Kita menjadi lebih mudah menerima informasi tanpa mempertanyakan, lebih reaktif daripada reflektif, dan lebih bergantung pada kenyamanan daripada pemahaman yang sesungguhnya.
Awalnya, Brain rot digunakan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya Walden pada tahun 1854 untuk mengkritik masyarakat yang cenderung menghindari pemikiran yang mendalam dan lebih memilih hal-hal dangkal.
Thoreau melihat fenomena ini sebagai tanda penurunan daya mental dan kemampuan berpikir manusia.
Fenomena ini sering ditemukan dalam platform seperti Facebook, IG dan Tik-Tok hingga media sosial lainnya yang sangat populer dikalangan Gen Z dan Gen Alpha. Konten singkat dan dangkal, paparan visual yang berlebihan, judul yang menyesatkan, informasi tidak valid, tayangan yang mengejutkan, hingga konten berbahaya yang mudah ditiru semuanya berkontribusi pada terbentuknya kondisi ini. Akibatnya, otak menjadi terbiasa dengan stimulasi instan dan kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis yang mendalam.
Contohnya dalam dunia pendidikan, siswa bahkan mahasiswa sekaligus yang terbiasa dengan kepuasan instan dari teknologi cenderung kehilangan daya tahan intelektual.
Menurut hemat penulis, kebiasaan ini membentuk pola pikir serba cepat yang membuat mereka enggan berjuang menghadapi tantangan intelektual, sehingga pemahaman yang mendalam semakin jarang terjadi. Jika kita terus membiarkan pikiran kita layu karena paparan konten tanpa makna, kita bukan hanya kehilangan kecerdasan, tetapi juga kendali atas hidup kita sendiri.
Bergantung pada media sosial seperti Facebook, Instagram, atau Tik-Tok, kita cenderung terperangkap dalam loop yang mempengaruhi cara kita berpikir dan memproses informasi. Seiring dengan semakin banyaknya informasi yang masuk ke dalam pikiran kita, kita menjadi lebih cenderung memilih short-form content atau konten dengan informasi yang cepat, singkat, dan sering kali tidak sepenuhnya akurat. Fenomena ini mengarah pada apa yang dikenal sebagai “brain root”, semacam pembiasan pada otak yang mempengaruhi cara berpikir kita.
Menurut Dr. Nicholas Carr, dalam bukunya “The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains”, kebiasaan mengonsumsi informasi dengan cara yang cepat dan terputus-putus melalui internet dan media sosial berdampak pada cara otak kita memproses informasi. Ini mengurangi kapasitas kita untuk berpikir secara mendalam, menganalisis secara kritis, dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang secara lebih holistik. Carr menyebutkan bahwa otak kita mulai beradaptasi dengan pola konsumsi informasi yang lebih cepat, tetapi dengan mengorbankan kualitas berpikir.
Brain rot juga mempengaruhi hubungan sosial, interaksi tatap muka yang sering tergantikan oleh komunikasi digital yang dapat mengarah pada isolasi sosial sehingga mengurangi empati dan koneksi emosional.
Literasi Digital: Menjaga Keseimbangan antara Konsumsi dan Refleksi
Pentingnya literasi digital dalam konteks penggunaan media sosial harus menjadi fokus utama. Literasi digital bukan hanya tentang bagaimana menggunakan perangkat teknologi, tetapi lebih dari itu, mengenai bagaimana kita memilih, mengkritisi, dan mengolah informasi yang kita terima.
Menurut Dr. Howard Rheingold, seorang pakar media sosial dan penulis buku “Net Smart: How to Thrive Online” (2012), literasi digital melibatkan keterampilan untuk berpikir kritis terhadap konten yang kita temui di dunia maya, bukan hanya sekadar menerima atau menyebarkannya begitu saja.
Penulis sangat setuju bahwa literasi digital adalah kunci utama dalam menghadapi brain rot di era digital ini. Bukan hanya sekadar tentang bagaimana menggunakan teknologi, tapi lebih kepada bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi dengan bijak.
Penulis melihat literasi digital sebagai kemampuan untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, berkomunikasi secara efektif, dan berkolaborasi.
Penulis percaya bahwa pendidikan literasi digital harus menjadi prioritas.
Dengan literasi digital, kita diajarkan untuk memilah informasi, membedakan mana yang valid dan relevan, serta mana yang menyesatkan. Kita juga dilatih untuk berpikir kritis, menganalisis informasi secara objektif, dan mengevaluasi kredibilitas sumber informasi.
Penulis juga menekankan pentingnya etika digital dalam berinteraksi di dunia maya. Memahami etika digital berarti menghormati privasi orang lain, menjaga keamanan data pribadi, dan bertanggung jawab atas konten yang kita bagikan.
Di sinilah pentingnya menjaga keseimbangan antara menggunakan media sosial untuk interaksi sosial dan menjaga kualitas berpikir kita. Salah satu cara untuk melawan fenomena “brain root” adalah dengan memperkenalkan kebiasaan literasi digital yang mengutamakan pemikiran reflektif. Ini dapat dilakukan dengan memilih untuk mengonsumsi informasi dari sumber yang kredibel, berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki perspektif berbeda, serta meluangkan waktu untuk merenung dan berpikir tentang dampak dari informasi yang kita terima.
Praktik Literasi Digital yang Efektif
Untuk melawan “brain root” dan menjaga ketajaman berpikir di tengah fenomena media sosial yang berkembang pesat, ada beberapa hal yang baik bagi penulis untuk diadopsi oleh pelaku media sosial (konten kreator) dan pengguna media sosial yang dapat meningkatkan kualitas interaksi digital yakni dengan memilih sumber yang tepat, harus lebih selektif dalam memilih informasi dan sumber yang kita ikuti serta mengikuti sumber informasi yang terpercaya dan berkualitas, baik itu artikel, video, atau diskusi yang mendalam, akan membantu meningkatkan wawasan kita dan mengurangi konsumsi informasi yang dangkal.
Selanjutnya yakni Mengatur Waktu Penggunaan Media Sosial. Penulis berharap dengan mengatur waktu penggunaan media sosial adalah langkah yang sangat penting.
Prof. Cal Newport, dalam bukunya “Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World” (2019), mengemukakan bahwa dengan mengurangi penggunaan media sosial, kita dapat memberi waktu bagi otak kita untuk beristirahat, berpikir dengan jernih, dan merenung. Fokus pada kegiatan yang lebih produktif dan berpikir mendalam, seperti membaca buku atau mengikuti kursus online, dapat membantu melatih ketajaman berpikir.
Salah satu bentuk melatih ketajaman berpikir yakni melakukan interaksi dengan konten yang memicu diskusi mendalam. Menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan konten yang memicu refleksi dan diskusi mendalam amat sangat penting. Alih-alih hanya berfokus pada hiburan atau informasi yang cepat, lebih baik jika kita melibatkan diri dalam diskusi tentang topik-topik yang menantang dan memperluas wawasan.
Fenomena media sosial yang digunakan khususnya oleh sang konten kreator tentunya bukan sekadar alat interaksi sosial. Ia juga membawa tantangan besar bagi kualitas berpikir, terutama dalam menghadapi ancaman brain root dan berkurangnya ketajaman berpikir karena memprodukasi sebuah konten yang tidak bermutu untuk disajikan lewat media sosial. Oleh karena itu. Maka seorang konten kreator harus menggunakan media sosial yang diubah menjadi saluran interaktif dan bermutu yang tidak hanya memperkaya informasi, tetapi juga memperdalam kualitas pemikiran kita.
Kita memiliki tanggung jawab untuk mengelola waktu dan cara kita mengonsumsi informasi secara digital. Dengan meningkatkan literasi digital, kita tidak hanya dapat menjaga ketajaman berpikir, tetapi juga dapat memanfaatkan media sosial secara lebih bijak dan bermanfaat dalam kehidupan kita.
Akhir kata penulis mengutip apa yang disampaikan oleh Mantan Presiden Indonesia, Ir, Joko Widodo, mengatakan gunakanlah media sosial untuk perubahan yang lebih baik. Mengubah pola pikir, mindset sehingga membawa manfaat keterbukaan, manfaat digitalisasi dan bermanfaat bagi negara karena dengan hadirnya media sosial atau teknologi saat ini harus di ikuti dengan standar moralitas yang tinggi.
Salam …
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan