PPMAN Desak Kementerian ATR/BPN Audit Penerbitan SK Pemberian Izin HGU PT Krisrama di Wilayah Adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut
MAUMERE-Perhimpunan Pengembangan Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) segera menghentikan aktivitas PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) di wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Desakan ini muncul menyusul laporan bahwa PT Krisrama diduga telah melakukan penggusuran di tanah Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale, Kecamatan Talibura, pada 22 Januari 2025. Penggusuran yang dipimpin oleh Direktur Pelaksana PT Krisrama, Pastor Robertus Yan Faroka, itu dilakukan dengan pengawalan aparat keamanan dari TNI, Polri, dan Satpol PP.
Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus, menegaskan bahwa aktivitas perusahaan tersebut berpotensi merusak kelestarian lingkungan dan mengancam hak-hak masyarakat adat. Ia juga mendesak Menteri ATR/BPN Nusron Wahid untuk mengaudit penerbitan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi NTT Nomor: 1/HGU/BPN.53/VII/2023 yang memberikan izin HGU kepada PT Krisrama.
HGU Dipertanyakan, Hak Masyarakat Adat Terabaikan
Menurut Syamsul, penerbitan SK HGU tersebut diduga dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat setempat, yang selama ini telah menempati dan mengelola wilayah tersebut secara turun-temurun.
“Masyarakat adat menempati wilayah tersebut berdasarkan asal-usul mereka. Namun, tanpa sepengetahuan mereka, tanah itu masuk dalam klaim HGU PT Krisrama. Ini bentuk pengabaian hak konstitusional masyarakat adat,” ujar Syamsul usai bertemu dengan pejabat Kementerian ATR/BPN di Jakarta pada 31 Januari 2025.
Wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut dikenal memiliki nilai spiritual, budaya, dan ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat adat. Keberadaan HGU ini dinilai telah memicu konflik agraria, ketegangan sosial, serta kerusakan lingkungan.
Syamsul menekankan bahwa pelanggaran terhadap wilayah adat merupakan pelanggaran hak asasi manusia serta bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Ia juga mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Selain itu, ia menilai penerbitan SK HGU PT Krisrama melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yang mewajibkan persetujuan masyarakat adat sebelum tanah mereka digunakan untuk kepentingan lain.
Kriminalisasi dan Dugaan Pelanggaran Hukum
Selain penggusuran, PPMAN juga menyoroti kriminalisasi terhadap delapan anggota masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut yang saat ini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Sikka. Dua di antaranya adalah perempuan.
Menurut Syamsul, penahanan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan tanah mereka. Bahkan, penggusuran yang dilakukan PT Krisrama juga diduga menghilangkan barang bukti dalam perkara pidana yang sedang disidangkan.
Gregorius B. Djako, advokat PPMAN yang membela masyarakat adat, menilai bahwa tindakan penggusuran tersebut berpotensi sebagai tindak pidana. Ia merujuk pada Pasal 170 Ayat (1) KUHP dan Pasal 406 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, yang mengatur tentang perusakan dan perampasan hak orang lain.
“Menggusur rumah warga serta merobohkan pohon dan tanaman dengan alat berat adalah pelanggaran hukum. Ini juga melanggar ketentuan dalam surat keputusan HGU yang mewajibkan penyelesaian konflik sebelum melakukan aktivitas di atas lahan tersebut,” ujar Gregorius.
Ia juga mengacu pada Pasal 84 dan Lampiran IV Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 18 Tahun 2021, yang mewajibkan pemegang HGU menyelesaikan keberatan atau konflik sebelum melaksanakan kegiatan di lahan yang bersangkutan.
PPMAN Siap Tempuh Jalur Hukum
PPMAN menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan ditegakkan. Jika pemerintah tidak segera bertindak, pihaknya siap menempuh langkah hukum dan advokasi lebih lanjut.
“Pemerintah harus hadir sebagai pelindung masyarakat adat, bukan justru menjadi pendukung perusahaan yang mengabaikan keadilan sosial,” tegas Syamsul.
PPMAN mendesak Menteri ATR/BPN untuk segera mengambil tindakan nyata guna menyelesaikan permasalahan ini secara adil. Mereka juga meminta transparansi dalam proses penyelesaian konflik agraria agar hak-hak masyarakat adat tidak terus terabaikan.
“Kami akan terus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat melalui jalur hukum dan advokasi sampai keadilan benar-benar ditegakkan,” pungkas Gregorius.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan