Ansy Lema: Bangun NTT dari Apa yang Kita Miliki
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah provinsi dengan rentetan persoalan yang cukup banyak dan rumit, mulai dari angka kemiskinan yang tinggi, stunting atau gizi buruk, minimnya lapangan pekerjaan, infrastruktur jalan yang buruk, ketersediaan air yang kurang, hingga kemampuan fiskal yang masih terbilang rendah dan beban utang dari pemerintahan sebelumnya.
Kompleksitas permasalahan NTT ini dirasakan oleh masyarakat NTT, tidak terkecuali bagi kaum milenial Kalabahi Alor. Fahmi, salah seorang milenial asal Kalabahi Alor menyampaikan bahwa minimnya lapangan pekerjaan dan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi selalu menjadi persoalan yang tidak pernah terselesaikan.
“Kami milenial ini banyak yang menganggur, Kaka Ansy. Setelah tamat sekolah, sedikit dari kami yang bisa lanjut ke perguruan tinggi, sehingga harus bekerja. Namun, lapangan pekerjaan tidak ada dan akhirnya kami menganggur,” ucap Fahmi pekan lalu.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Gubernur NTT Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema mengatakan bahwa kompleksitas permasalahan NTT harus bisa terurai. Caranya adalah dengan membangun berdasarkan pada potensi yang dimiliki oleh provinsi kepulauan ini.
Menurut Politisi PDI Perjuangan itu, NTT memiliki kekayaan alam yang indah dan eksotik, serta keunikan dan keragaman budaya. Provinsi dengan jumlah penduduk 5,6 juta jiwa ini memiliki potensi pariwisata yang sangat besar, termasuk Kabupaten Alor.
Kabupaten yang terletak di ujung timur kepulauan nusa tenggara ini memiliki kondisi alam dengan laut yang sangat indah. Pulau yang terkenal dengan julukan Pulau Kenari ini terkenal dengan wisata pantai dengan ragam karang dan biota laut, juga wisata budaya.
“Kita harus menciptakan lapangan kerja yang tidak hanya bergantung pada negara, seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena kuotanya yang terbatas. Pertama-tama, kita harus lihat pada potensi yang kita miliki saat ini. Membangun NTT harus dimulai dari apa yang kita miliki, dari keseharian kita, bukan dari apa yang tidak kita miliki,” ujar Calon Gubernur NTT nomor urut satu tersebut.
Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu menyebutkan bahwa NTT memiliki kekayaan alam dan keragaman budaya, yang sayangnya sampai hari ini belum dikelola secara optimal menjadi objek wisata dengan standar atau mutu yang baik. Padahal, sektor pariwisata adalah lokomotif yang dapat menggerakkan roda perekonomian daerah dalam berbagai sektor. Karena itu, NTT harus mulai dari sektor pariwisata.
“Pariwisata itu ibarat lokomotif kereta yang menggerakkan gerbong-gerbong ekonomi lainnya, seperti kelautan dan perikanan, pertanian, peternakan, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), dan transportasi. Sederhananya, wisatawan ketika datang pasti akan butuh mobil, makan, dan ketika pulang butuh beli oleh-oleh. Kita harus dorong pembangunan pariwisata di NTT dan memastikan bahwa dampak ekonominya dirasakan oleh masyarakat asli NTT. Masyarakat NTT harus bisa menikmati hasil dari pariwisata,” terang satu-satunya Calon Gubernur NTT yang berpasangan dengan perempuan itu.
Oleh sebab itu, dirinya akan menciptakan sistem pariwisata yang mendukung masyarakat kecil seperti para petani, peternak, nelayan, masyarakat adat, dan UMKM untuk bisa berpartisipasi sebagai pelaku pariwisata. Pria dengan tagline “Manyala Kaka” ini menginisiasi pembangunan pariwisata berbasis komunitas atau community based ecotourism. Ini adalah cara dirinya untuk memastikan masyarakat kecil tidak tersingkirkan dari pembangunan pariwisata.
Selain pembangunan di sektor pariwisata, pria berdarah Ende-Belu itu juga akan memperbaiki cara pengelolaan komoditi di sejumlah daerah di NTT. Menurutnya, selama ini masyarakat terbiasa dengan skema pengolahan tanam-petik-jual.
Ke depan, cara pengolahan seperti ini harus dirubah menjadi tanam-petik-olah-jual. Untuk itu, Ansy Lema berkomitmen mendirikan pabrik pengolahan komoditi di NTT. Pengolahan adalah unsur penting yang harus ada agar harga jual komoditi menjadi tinggi.
“Kemarin saya mengunjungi petani penghasil jambu mete di Alor. Sayangnya, mereka masih menjual dengan prinsip tanam petik jual. Harga jual sangat rendah yaitu Rp 24.000 per kilogram. Ini yang harus diubah. Harus ada pabrik pengolahan. Saya akan memperkuat industri olahan seperti kacang mete sehingga ada nilai tambah. Bisa dijual dengan harga tinggi,” jelas pria yang berpasangan dengan Jane Natalia Suryanto ini.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan