Soal Golkar NTT Borong Partai, Pengamat: Koalisi Partai Vs Koalisi Rakyat
KUPANG- Partai Golkar NTT terus berupaya memborong semua partai politik. Manuver serupa sudah dilakukan Golkar di Jakarta dengan membentuk KIM Plus. KIM Plus beranggotakan 12 partai politik. Koalisi gemuk ini mengusung Ridwan Kamil-Suswono.
Menurut Pendiri dan Direktur The Indonesian Agora Research Center dan Ranaka Institute, Ferdinandus Jehalut (Ferdi), upaya partai politik membentuk koalisi gemuk dalam Pilkada merupakan pembunuhan terhadap demokrasi.
“Demokrasi yang sehat tidak bisa hidup di atas keterbatasan pilihan. Partai-partai politik bertanggung jawab menghadirkan pilihan yang beragam kepada masyarakat dalam kontestasi elektoral”, kata Ferdi.
Ferdi juga menegaskan, tugas dan tanggung jawab partai politik di Indonesia tertulis dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2011.
Menurut UU tersebut, partai politik mengemban tugas sebagai sarana komunikasi politik, agregasi kepentingan, kaderisasi, pendidikan politik, dan pengatur konflik. Upaya untuk membangun koalisi gemuk tanpa pesaing dalam Pilkada jelas melanggar undang-undang ini. Menurut Ferdi, hal itu merupakan “dosa politik” yang tidak bisa diampuni oleh masyarakat.
Bangun Koalisi Rakyat
Pengamat politik jebolan magister ilmu komunikasi UGM tersebut lebih lanjut menegaskan, kecenderungan Parpol untuk membangun koalisi gemuk di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh oligarki. Oligarki mendepak agenda dan kepentingan rakyat dalam konsolidasi demokrasi. Pemilihan umum yang menjadi kesempatan konsolidasi demokrasi diturunkan maknanya menjadi ajang tukar tambah material antara partai politik dan pemilik modal atau oligarki.
“Saat ini kita membutuhkan koalisi rakyat melawan oligarkisasi partai politik ini. Solidaritas rakyat atau wong cilik melawan oligarki ini dibutuhkan untuk merebut kembali demokrasi dari tangan para mafia politik atau elite predator”, tegasnya.
Koalisi Gemuk Merusak Demokrasi
Ketika ditanyai pandangannya tentang koalisi gemuk dalam Pilgub NTT, Ferdi menilai itu sebagai virus demokrasi.
“Virus serupa sudah terwujud di Jakarta yang diberi nama KIM Plus. Upaya mereplikasi virus tersebut di provinsi-provinsi lain juga ada. Ini berbahaya untuk konsolidasi demokrasi. Kita harus mengantisipasi ini sejak dini supaya daya rusaknya tidak melebar”, kata Ferdi yang saat ini juga menjadi tim pengelola program Sekolah Politisi Muda Yayasan Satunama, Yogyakarta.
Pengamat politik berdarah NTT itu juga menilai, semakin banyak partai politik dalam suatu koalisi, kepentingan oligarkinya juga semakin banyak. Akibatnya, agenda konsolidasi kepentingan rakyatnya semakin kecil.
“Itulah sebabnya kita selalu mendorong agar koalisi-koalisi Parpol saat Pilkada atau pemilihan umum itu mesti proporsional”, tegasnya.
Selain untuk menghadirkan beragam pilihan kepada masyarakat, menurut Ferdi koalisi Parpol yang proporsional juga memudahkan konsolidasi kepentingan rakyat dalam perumusan kebijakan. Selain itu, koalisi Parpol yang proporsional juga penting untuk menjaga sistem kontrol dan keseimbangan dalam proses demokrasi.
Diberitakan saat ini Pilkada NTT mengerucut ke tiga calon yakni Emanuel Melkiades Lakalena-Johni Asadoma (Golkar 9 kursi, PSI 6 kursi, Gerindra 9 kursi, PAN 4 kursi, Demokrat 7 kursi), Simon Petrus Kamlasi-Andre Garu (Nasdem 8 kursi dan PKB 7 kursi), dan Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema (PDI Perjuangan).
Dari tiga calon, hanya Ansy yang belum memenuhi syarat kelengkapan kursi DPRD Provinsi NTT karena PDI Perjuangan hanya memiliki 9 kursi. Untuk maju Gubernur NTT butuh 13 kursi. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang memiliki 4 kursi DPRD Provinsi diberitakan akan mendukung Ansy Lema dalam koalisi ramping 13 kursi.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan