Terindikasi Cacat Administrasi, Masyarakat Adat di Sikka Minta Menteri ATR Batalkan SK HGU 10 Bidang Tanah Bekas HGU PT Diag

waktu baca 4 menit
Keterangan foto:Konfrensi pers masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut, Rabu (7/2/2024) sore. Foto:Mario WP Sina.

MAUMERE-Masyarakat Adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut di Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka menyatakan keberatan dan menolak SK.HGU PT. Kristus Raja Maumere (Krisrama) yang telah dikeluarkan oleh Kepala Wilayah Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusa Tenggara Timur atas 10 bidang tanah negara bekas HGU PT. Diag.

Keberatan ini disampaikan masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut dalam surat yang dilayangkan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Marsekal TNI (Purn.) Dr. (H.C.) Hadi Tjahjanto.

Dalam konfrensi pers yang berlangsung di Desa Likong Gete, Kecamatan Talibura, Rabu (7/2/2024) sore dan dihadiri ratusan warga adat dari Masyarakat Adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut, menyatakan keberatan dan menolak SK. HGU PT. Kristus Raja Maumere (Krisrama), dengan alasan
pembaruan HGU tersebut terindikasi kuat Cacat Adminitratif.

Dalam surat yang ditandatangani oleh Tana Pu’an Goban Runut, Leonardus Leo dan Tana Pu’an Soge Natarmage, Ignasius Nasi, disebutkan indikasi cacat administratif ini dikarenakan, PT. Krisrama sebagai Pemohon HGU tidak memenuhi ketentuan pasal 73 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan Dan Hak Atas Tanah.

Pasal dimaksud menegaskan bahwa, syarat perpanjangan dan/atau pembaruan HGU yang berasal dari tanah negara meliputi, pada huruf i: surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah bagi pemohon perorangan atau dalam bentuk akta notariil bagi pemohon berbadan hukum dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana yang menyatakan Angka 1 : Tanah tersebut masih dikuasai secara Fisik.
Padahal secara fisik di lapangan sebagian tanah negara bekas HGU tersebut telah dikuasai warga masyarakat yakni di Pedan Desa Nangahale sejak tahun 2013 sampai sekarang, di Utanwair/Wairkung Desa Nangahale sejak tahun 2004 sampai sekarang, di Likong Gete dan sekitarnya Desa Nangahale sejak tahun 2004 sampai sekarang, di Hito Halok dan Patiahu Desa Runut sejak 2013 sampai sekarang.

Angka 3 :Tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dimiliki atau tidak dalam keadaan sengketa.

Pada hal secara eksiting tanah negara bekas HGU dimaksud saat ini sedang berada dalam sengketa/konflik antara PT. Krisrama sebagai Pemohon Pembaruan HGU dan warga masyarakat yang telah mendudukinya.

Hingga saat ini belum ada satu-pun dokumen autentik yang menunjukan telah ada penyelesaian sengketa/konflik. Warga masyarakat sudah beberapa kali menyampaikan surat keberatan kepada ATR/BPN dan hingga saat ini belum pernah melakukan pencabutan surat keberatannya tersebut.

Keterangan foto:Konfrensi pers masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut, Rabu (7/2/2024) sore. Foto:Mario WP Sina.

Pihaknya juga menyampaikan, kondisi fisik di lapangan yang mana saat ini semua bidang tanah negara bekas HGU yang telah dikuasai warga tersebut aktif dimanfaatkan untuk membangun rumah, mengembangkan tanaman produktif jangka panjang dan ternak di sekitar pekarangan rumah, pengembangan ladang, dan pengembangan sawah irigasi mandiri.

“Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta social dan yuridis tersebut, maka kami mohon kepada Menteri ATR/BPN untuk melakukan penijauan lansung di lapangan dan selanjutnya membuat keputusan tegas berdasarkan pasal 31 ayat (1) huruf b angka 2 PP. No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah, yang menegaskan: “Hak Guna Usaha dibatalkan oleh Menteri sebelum jangka waktu berakhir karena “Cacat Administrasi,” ungkap Leonardus Leo dan Ignasius Nasi mewakili masyarakat adat Tana Pu’an Goban Runut dan Tana Pu’an Soge Natarmage.

Sementara itu, Antonius Yohanis Bala, S.H, selaku kuasa hukum masyarakat adat Tana Pu’an Goban Runut dan Tana Pu’an Soge Natarmage, mengatakan, sebelumnya kedua masyarakat adat ini tidak tahu bahwa HGU ini telah dikeluarkan SK dari Kepala BPN NTT namun karena diumumkan di gereja pada awal bulan Desember.

Setelah diumumkan itu, mereka mulai mengkonsolidasi diri untuk memastikan bahwa proses yang terjadi yang melatarbelakangi keluarnya SK HGU itu terindikasi Cacat Administrasi.

“Salah satu indikator yang kuat adalah masyarakat masih berada di dalam dan menguasai tanah tersebut. SK tidak boleh diberikan ketika masih ada warga di dalam kawasan dan SK tidak boleh diberikan kalau ada indikasi sengketa. Dalam istilah kerennya orang selalu bilang SK itu bisa dikeluarkan kalau sudah Clean and Clear,” tegas Jon Bala, demikian ia akrab disapa.

Lanjutnya, Clean and Clear yang dimaksud adalah tidak boleh ada penguasaan pihak lain. Kalau ada penguasan pihak lain berarti ada sengketa.

Jika ada dua hal itu, kata Jon Bala, Clean and Clear dibuktikan dengan 2 indikator. Indikator pertama adalah Berita Acara Penyelesaiaan Sengketa dan indikator kedua adalah pencabutan kembali Surat Keberatan. Jika telah dicabut Surat Keberatan baru boleh dilakukan upaya penetapan HGU.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *