Domestic Violence dalam Relasi Gender

waktu baca 7 menit

Oleh : Adriana Ance-Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Nusa Nipa Maumere.

Domestic Violence atau Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah fakta umum yang selalu dan sering terjadi di tengah masyarakat. Pandangan umum tentang kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan internal keluarga yang bersifat pribadi atau privat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sesungguhnya membawa perubahan ke arah yang baik, dimana kekerasan dalam rumah tangga sebagai sesuatu yang privat di atur ke dalam hukum publik.

Pada satu sisi, adanya undang – undang ini memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap perempuan yang selalu berada dalam posisi rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sebagai upaya negara untuk menghentikan budaya kekerasan. Namun pada sisi lain, tidak sedikit juga yang berkeberatan karena tetap menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan privat yang tidak perlu di atur dalam hukum publik.

Definisi kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adalah : “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Berangkat dari pengertian kekerasan dalam rumah tangga oleh UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk kekerasan yang sering terjadi  dalam rumah tangga meliputi : Pertama : Kekerasan fisik yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan penderitaan fisik, Kedua : Kekerasan psikologis : yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri pada perempuan, serta rasa tidak berdaya pada perempuan. Ketiga : Kekerasan seksual : yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang perempuan untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki, atau melakukan hubungan seksual dengan cara yang tidak tidak disukai korban. Keempat : Kekerasan ekonomi : yaitu setiap perbuatan yang membatasi  perempuan untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan barang, atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi dan menelantarkan keluarga.

Perempuan Rentan Menjadi Korban Kekerasan

Perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu penyebab perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah nilai – nilai sosial budaya yang ada di tengah masyarakat, yang membentuk kekuatan patriarchal, dimana laki-laki secara sosial budaya ditempatkan sebagai pemilik kuasa yang mengatur kehidupan dan pengetahuan serta menjadi kontrol atas diri perempuan, sehingga, ketika penempatan hubungan antar jenis kelamin dihubungkan, maka perempuan akan berada pada posisi sebagai pihak yang diatur oleh laki-laki.

Bangunan relasi ini bekerja secara terus menerus melalui nilai – nilai sosial budaya yang kemudian melahirkan identitas jender yang membedakan laki-laki dan perempuan sehingga lali – laki dan perempuan tidak berada dalam posisi yang sama.

Secara sosial dan budaya, hubungan gender antara laki-laki dan perempuan yang berada dalam posisi yang tidak sama ini, kemudian menempatkan perempuan rentan sebagai korban kekerasan dengan beberapa alasan, yaitu : Pertama : Laki-laki secara fisik lebih kuat dari pada perempuan. Kedua : Dominasi laki-laki terhadap perempuan, diikuti dengan toleransi penggunaan kekuatan oleh laki-laki. Ketiga : Realitas ekonomi kemudian memaksa perempuan untuk menerima penganiayaan dari siapa dia bergantung.

Keberadaan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan agar perempuan tidak lagi mengalami kekerasan, namun dalam praktek kehidupam masyarakat, masih sangat banyak perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga enggan untuk melakukan tindakan hukum ketika terjadi kekerasan karena secara umum masih terdapat anggapan bahwa : Pertama : Tidakan kekerasan yang dialami adalah sesuatu yang biasa sebagai hak mengatur yang dimiliki oleh laki – laki terhadap perempuan Kedua : Adanya harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti dengan sendirinya sebagai bentuk rasa cinta dan komitmen pada pasangannya. Ketiga : Demi anak-anak sehingga perempuan mengalah dan tidak membiarkan anak – anak menjadi korban, ini adalah bentuk pengorbanan perempuan sebagai seorang ibu yang membaktikan diri untuk anak – anak. Keempat : Pandangan masyarakat terhadap perempuan dengan status janda membuat perempuan korban kekerasan tetap mempertahankan perkawinannya, stigma ini membuat perempuan sulit mendapat mendapat dukungan keluarga.

Menelusuri Lahirnya Kekerasan Terhadap Perempuan.

Secara alamiah perempuan berbeda dengan laki-laki. Perempuan memiliki rahim, mengalami siklus menstruasi, hamil dan melahirkan. Sifat alami yang dimiliki oleh perempuan, terutama sifat yang dapat melahirkan kehidupan yang baru menempatkan perempuan mempunyai hubungan yang erat dengan alam yang juga memiliki sifat yang produktif. Pada sisi lain, secara alamiah laki-laki di identikan kekuatan yang mengeksploitasi alam. Kekuatan yang dimiliki oleh laki – laki ditujukan untuk menguasai alam sesuai dengan keinginan dan kepentingannya.

Sifat alamiah ini kemudian dilekatkan oleh masyarakat pada laki – laki dan perempuan secara sosial budaya yang melahirkan penilaian bahwa salah satu gender lebih rendah dari yang lain atau dengan kata lain laki – laki lebih tinggi kedudukannya dari pada perempuan. Penilaian ini oleh masyarakat dan budaya diikuti dengan mengkonstruksi perbedaan hubungan antara laki-laki dan perempuan tersebut untuk membedakan peran dan tugasnya berdasarkan gender. Konstruksi gender dalam masyarakat ini telah terbangun dan membentuk sebuah budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Konstruksi relasi jender secara sosial budaya dalam masyarakat yang menempatkan laki – laki pada posisi sosial dan budaya yang lebih tinggi dari perempuan secara tidak langsung memberi ruang yang “mendukung” lahirnya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga sehingga perempuan menjadi tidak terlindungi, dan ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga maka itu adalah urusan privat yang tidak perlu dicampuri.

Pada situasi sosial budaya seperti ini, perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (korban) kemudian beralih pada sumber daya yang ada pada dirinya sendiri agar dapat bertahan. Perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga kemudian merasionalisasi kekerasan yang dialaminya dengan mengadopsi norma sosial budaya yang mengabsahkan kekerasan, dan pada akhirnya perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memperkuat pandangan sendiri bahwa perempuan bertanggungjawab untuk memastikan keberhasilan perkawinan dalam ketidakberdayaan. Pada kondisi yang terjebak seperti ini, perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga semakin sulit untuk keluar dari kekerasan yang ada karena tidak mampu mencari jalan alternatif pemecahan.

Dampak lanjutan dari kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam rumah tangga yang dianggap sebagai urusan privat yang tidak perlu dicampuri adalah ketika kekerasan itu terjadi dalam sebuah keluarga, oleh seorang suami terhadap istri dan disaksikan oleh anak-anak. Bagi anak perempuan, akan membentuk sikap pasrah dan menerima yang pada saatnya kemudian bagi anak perempuan tersebut ketika menjalani kehidupan rumah tangganya sendiri ketika mengalami kekerasan dalam rumah tangganya akan juga bersikap pasrah dan menerima. Bagi anak laki-laki yang menyaksikan, maka disitu anak telah mengalami proses “penularan kekerasan antar generasi” karena itu kemudian anak lebih mungkin untuk juga melakukan kekerasan dalam rumah tangganya terhadap istrinya sendiri. Dengan terjadinya “penularan kekerasan antar generasi” maka perempuan dalam relasi gender akan selalu berada dalam posisi yang rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

UU No. 23 Tahun 2004 Sebagai Sebuah Keadilan Gender

Ketidaksetaraan dalam menempatkan posisi laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi masyarakat secara sosial budaya, dimana dalam relasi gender perempuan lebih rendah dari laki – laki, menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, yang melahirkan ketidakadilan bagi perempuan, maka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah bagian dari konstruksi sosial budya masyarakat. Untuk itu masyarakat juga harus bertanggung jawab untuk mengubah relasi gender dengan menghilangkan penempatan perempuan lebih rendah dari laki – laki secara sosial budaya dalam praktek kehidupan sosial budaya masyarakat.

Keberadaan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah menggeser wilayah persoalan yang sebelumnya privat menjadi persoalan publik. Harapan besar perempuan terhadap keberadaan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini adalah terhentinya budaya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di tengah masyarakat. Disini objektivitas keberadaan UU No. No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara transformatif tidak hanya dengan mengatur perbuatan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sebagai suatu kejahatan yang dapat dihukum dengan dijatuhi hukuman pidana (fungsi represif), tetapi secara preventif harus juga menempatkan sebuah mekanisme hukum yang adil bagi perempuan serta meningkatkan kesadaran hukum perempuan untuk memperoleh hak-haknya agar terbebas dari tindakan kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual serta kekerasan ekonomi.

Sudah saatnya melalui UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, negara melalui pemerintah bersama-sama masyarakat mencanangkan “zero tolerance” terhadap kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Artinya keberadaan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga harus mampu memberikan perlindungan hukum, kepastian hukum serta keadilan bagi perempuan dengan tidak memberikan toleransi sekecil apapun terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, sebagai wujud konkret penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *