Protap Kapolri Tentang Penanggulangan Anarki Tidak Menyebut Menggunakan Air Kotor Sambil Tersenyum

waktu baca 3 menit
Keterangan foto:Praktisi Hukum sekaligus mantan Sekjen Pengurus Pusat PMKRI, Emanuel Herdiyanto Moat Gleko, S.H, M.H.

MAUMERE-Puluhan aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Maumere kembali melakukan aksi demontrasi terkait dugaan penyelewengan dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) tahap satu triwulan pertama tahun 2023 Dinas PKO Kabupaten Sikka, Jumat, 4 Agustus 2023 pagi hingga siang .

Aksi demo yang berlangsung di depan Kantor Kejaksaan Negeri Sikka itu sempat terjadi aksi saling dorong dan nyaris ricuh antara puluhan mahasiwa dari PMKRI Maumere dan persone polisi Polres Sikka.

Saat hendak membubarkan pendemo, tampak seorang polisi menyiramkan air kotor kepada para pendemo di halaman pintu masuk Kantor Kejari Sikka.

Penyiraman air kotor oleh seorang anggota polisi ini justru memicu keributan dan aksi saling dorong mendorong antara polisi dan aktivis PMKRI Cabang Maumere.

Menanggapi aksi penyiraman air kotor oleh seorang polisi Polres Sikka untuk membubarkan mahasiswa yang berdemo, Praktisi Hukum, Emanuel Herdiyanto Moat Gleko, S.H, M.H menuturkan, pengambilan keputusan di lapangan dengan menyandarkan pada pertimbangan sendiri akan menimbulkan peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan, termasuk di dalamnya penanganan masalah demonstrasi, terlebih dalam satu ketentuan yang dimuat dalam Protap memasukan “melawan/menghina dengan menggunakan atau tanpa menggunakan alat dan/atau senjata” sebagai gangguan nyata anarki.

Menurutnya, hal ini akan sangat berisiko, karena jika petugas kemudian melakukan tindakan secara tegas dengan bentuk “tembak di tempat” atau di halau dengan menggunakan sejata lain/tumpul, maka asas proporsionalitas yang dijadikan landasan dalam protap tidak akan terpenuhi.

Keterangan foto: Aksi saling dorong aktivis PMKRI Maumere dengan personel Polres Sikka di pintu masuk Kantor Kejaksaan Negeri Sikka, Jumat (4/8/2023) siang.

Karena penghinaan terhadap petugas tidaklah dapat dipersamakan dengan bentuk kekerasan fisik dalam hukum pidana, di sini terlihat adanya ketidakseimbangan antara kewajiban hukum yang harus dijalankan dengan kepentingan hukum yang seharusnya di lindungi.

Lanjut Eman Herdiyanto, penempatan pembelaan diri secara terpaksa sebagaimana yang dianut dalam Protap sebagai dasar pembenaran atas tindakan tegas dalam penanggulan anarki tidaklah tepat, dengan mendasarkan pada Pasal-Pasal KUHP seperti Pasal 48 dan Pasal 49, karena pembelaan terpaksa menurut Hukum pidana dibatasi oleh tiga asas, yaitu, Asas subsidiaritas, yakni pembelaan terpaksa dapat dilakukan jika tidak ada kemungkinan jalan yang lain.

Asas Proporsionalitas, yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan hukum yang harus dilindungi dengan tindakan hukum yang harus dilakukan.

Asas Culpa in Causa, yaitu artinya seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa.

“Kalau kita liat aksi adik adikku kemarin di kejaksaan, saya kira kondisi obyektifnya belum sampai harus ada tindakan halau masa tegas. Bahkan dalam rekamam video yang beredar, dapat kita lihat kalau aksi siram air itu seolah inisiatif oknum polisi tersebut, karena dilakukan dengan sambil tersenyum senang seolah hendak mengejek,” ujar mantan Sekjend Pengurus Pusat PMKRI ini.

Kata Eman Herdiyanto, mana ada petugas menghalau masa aksi dengan wajah senang seperti itu.

Menurutnya, itu adalah inisiatif pribadi oknum polisi itu, sehingga Kapolres Sikka harus bertindak mendisiplinkan oknum perusak citra polri seperti ini. Polisi dengan semboyan presisi tidak begitu kelakuannya.

“Saya mantan sekjend pengurus pusat PMKRI dan saya meminta semua elemen PMKRI bertindak secara konsolidatif untuk meminta pertanggungjawaban oknum polisi yang telah menghina baret merah dan bol kuning kita dengan air kotor,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *