Ada Penyalahgunaan Wewenang dalam Masalah 8 PNS Kejari Sikka Tinggal di Rusun MBR, Bupati Sikka Diminta Batalkan
MAUMERE-Rumah Susun untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang berlokasi di Kelurah san Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka diduga tidak tepat sasaran.
Hal ini lantaran terdapat sebanyak 8 orang Pegawai berstatus PNS dari Kejaksaaan Negeri Sikka yang turut menjadi penghuni rumah susun yang diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah itu.
Dimintai tanggapannya terkait polemik ASN Kejari Sikka yang tinggal di Rusun MBR, Dosen FH Ubaya Surabaya, Marianus Gaharpung mengatakan, dirinya memberi apresiasi positif kepada Pemerintah Pusat khusus Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengadakan rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Kesungguhan ini dibuktikan dengan adanya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan PP No. 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rusun.
Pasal 1 angka 7 UU No. 20 tahun 2021, Rusun diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyatakat yang berpenghasilan rendah. Pasal 54 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2021 kemudahan dari pemerintah hanya dapat dimiliki atau disewa kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Itu artinya bagi siapa saja warga negara apakah ASN atau swasta terpenting berpenghasilan tetap dan kriteria rendah dengan terbagi atas dua kategori penghasilan orang perorangan yang tidak kawin dan orang perorangan yang telah kawin/ berumah tangga. Bagi yang tidak kawin seluruh pendapatan bersih yang bersumber dari gaji, upah dan hasil usaha sendiri.
Sedangkan bagi orang perorangan yang kawin seluruh pendapat bersih yang bersumber dari gaji upah serta hasil usaha gabungan suami istri.
Besaran penghasilan agar masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah diatur dalam Keputusan Menteri PUPR No. 411/ KPTS/M/ 2021 yakni penghasilan maksimum bagi tidak kawin adalah Rp. 6 juta (jawa, kalimantan, sulawesi, NTB termasuk NTT) sedangkan bagi penghasilan maksimum bagi yang sudah menikah adalah 8 juga (jawa sumatra kalimantan, Bali NTB termasuk NTT. Disamping itu diatur dalam Pasal 73 ayat 1 PP No. 13 tahun 2021 syarat untuk memenuhi tersebut adalah WNI tercatat sebagai penduduk di satu kebupaten/ kota sesuai lokasi sarana rumah susun.
“Artinya jangan ASN pendatang beli rumah tersebut pindah lalu jual dengan harga lebih mahal. Praktek demikian sering terjadi. Serta yang bersangkutan belum pernah dapat bantuan dan/atau kemudahan perolehan rumah. Artinya dicek benar apakah ASN tersebut sedang bangun rumah atau sedang ajukan kredit runah di Bank karena proses belum selesai lalu gunakan kesempatan ambil Rusun tidak boleh,” ujarnya.
Jadi bagi 8 ASN Kejaksaan Negeri Sikka yang mendapatkan fasilitas Rusun tersebut sesuai tidak dengan kriteria peraturannya. Karena menurut Undang Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ada asas asas umum pemerintahan yang baik dimana pejabat tata usaha negara dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat wajib memperhatikan aspek kecermatan, aspek kepastian hukum, asas ketidak berpihakan.
“Artinya jangan karena ada surat dari Kejari Sikka Fatony Hatam SH MH lalu pejabat tata usaha negara dalam hal ini Plt.Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan Kabupaten Sikka, Oktovianus S.W Suban membolehkan ASN Kejaksaan Negeri Sikka mendapat rumah susun maka dikatakan melakukan tindakan penyalagunaan wewenang dan melawan hukum,” ujarnya.
“Jika demikian Bupati Sikka wajib melakukan penertipan dengan membatalkan perolehan rumah susun oleh 8 ASN Kejaksaan Negeri Sikka karena prinsip dalam tata kelola pemerintahan memperlakukan semua orang sama dihadapan hukum tanpa memandang jenis kelamin warna kulit dan jabatan,” tegas Marianus Gaharpung.