Perempuan dan Politik
Peristiwa 21 April 2023 adalah hari dimana kita memperingati Hari Kartini yang merupakan pahlawan perempuan dan pejuang emansipasi wanita di Indonesia.
Salah satu tujuan kita memperingati hari kartini adalah untuk memperingati dan menghormati perjuangan Raden Adjeng Kartini untuk mewujudkan kesetaraan, kesempatan antara laki-laki dan perempuan di era modern yang secara khusus terutama dalam bidang pendidikan dan secara umum kesetaraan gender di semua bidang.
Dalam konteks era post modernisme perempuan Indonesia tidak lagi terkurung dalam kegelapan intelektual.
Perempuan yang dulunya tidak diperkenankan sekolah hanya diperbolehkan membersihkan rumah, memasak, menjahit, dan mengurus anak, kini dapat mencicipi akses pendidikan.
Tugas dan tanggung jawab seorang perempuan bukanlah sekedar menjadi pelengkap isi rumah tangga. Namun harus bisa membicarakan arah kemajuan bangsanya.
kini, perempuan Indonesia juga memiliki ruang gerak yang setara dengan pria, baik dibidang pemerintahan, politik atau bidang mana saja salah satunya adalah peran perempuan dalam bidang politik.
Sejauh ini hak-hak politik perempuan tidak menjadi isu menarik untuk dilirik menjelang Pemilu 2024. Publik lebih banyak ”dipaksa” melirik sajian isu-isu pencapresan.
Berbicara tentang politik tidak hanya dilakukan oleh kalangan politisi, pemerintah atau para birokrat saja namun semua lapisan masyarakat.
Di setiap tongkrongan kopi kita bisa mendengar para warga sedang meperbincangkan politik, memperdebatkan paslon mana yang terbaik atau mengkritisi kebijakan pemerintah.
Sosok figur perempuan untuk menjadi bagian dari aktor politik juga mulai dibicarakan. Kaum perempuan kembali diperbincangkan karene representasi perempuan dalam bidang politik dapat dikatakan masih jauh dari harapan.
Jika kita melihat hasil dari Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif berada pada 20,8 persen. Hal ini masih jauh dari angka minimal keterwakilan perempuan yang telah diatur dalam undang-undang pemilu. Bahkan, menurut data World Bank pada 2019, Indonesia berada pada peringkat ke-7 untuk keterwakilan perempuan di parlemen se-Asia Tenggara.
Sedangkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kuota 30% keterwakilan perempuan ini di mapankan dalam bentuk tindakan afirmatif (affirmative action) dalam lembaga penyelenggara pemilu ataupun dalam kesempatan menjadi kontestan elektoral (kandidat/calon legisalatif).
Bahkan untuk kandidasi tersebut, kebijakan afirmatif tersebut dilengkapi dengan sistem zipper sebagimana diatur dalam Pasal 246 ayat (2) dalam UU No. 7 Tahun 2017.
Dengan disepakatinya kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di parlemen, di satu sisi merupakan agenda besar bagi perempuan untuk menetapkan langkahnya berpartisipasi dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik, dan menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini terpinggirkan dan juga mengubah kondisi masyarakat kearah yang lebih baik dan demokratis.
Selain itu juga hak-hak perempuan dapat ditemukan dalam instrumen hukum nasional, misal dalam pasal 46 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan: “sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.”
Akan tetapi itu maih jauh dari harapan. Padahal dengan adanya keterwakilan dan keberadaan perempuan di parlemen menjadi satu hal yang sangat penting karena perempuan memiliki kepentingan tersendiri yang hanya bisa dikemukakan oleh kaum perempuan itu sendiri dan akan susah bagi kaum laki-laki untuk bisa memahami apa yang dibutuhkan perempuan.
Penulis mengambil hipotesis bahwa keterwakilan perempuan dalam parlemen sangat minim atau bahkan selalu dianggap kelas ke dua dari laki-laki adalah adanya budaya patriarki yang memperoses perempuan pada peran-peran domestik seperti peran pengasuhan, pendidik dan penjaga moral.
Sementara peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan dan pencari nafkah.
Peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut, di arena politik yang sarat dengan peran pengambil kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan identik dengan dunia laki-laki.
Apabila perempuan masuk kepanggung politik dianggap kurang lazim atau tidak pantas, bahkan arena politik dianggap dunia yang keras, sarat dengan persaingan.
Rendahnya partisipasi perempuan di bidang politik disebabkan karena kendala kultural, strukrural dan anggapan-anggapan yang bias gender.
Berdasarkan sepengamatan penulis, perempuan yang menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sikka tidak lebih dari 10 orang dari jumlah 35 anggota DPRD.
Jumlah ini menunjukkan bahwa tindakan afirmatif berupa 30% keterwakilan wanita di DPRD belum tercapai.
Dengan demikian, penulis berharap kontestasi politik di tahun 2024 khususnya pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Sikka, banyak perempuan yang terlibat, bahkan tidak hanya terlibat tetapi juga harus duduk dan masuk dalam Lepo Kula Babong (Gedung DPRD Sikka).
Banyak cara yang bisa dilakukan bagi seorang bakal calon legislatif perempuan agar bisa duduk di parlemen selain dengan cara-cara kampanye keberpihakkan pada masayarakat, yakni dengan memperhatikan mengenai unsur-unsur komunikasi politik mulai dari komunikator politik, pesan politik, saluran atau media politik, penerima pesan politik, dan efek atau pengarah dari pesan yang mau disampaikan.
Hal ini dilakukan sehingga dalam melakukan kerja-kerja poliitik dapat tepat sasaran serta dapat berlansung secara efektif dan efesien.
Kini sudah saatnya perempuan di Kabuputen Sikka harus bisa mengambil peran di Lepo Kula Babong (Gedung DPRD Sikka) sebagai bentuk kritik atas dominasi budaya dan tradisi patriarki.
Kaum perempuan harus diberi peluang untuk terlibat dalam proses demokrasi deliberatif yang mampu mendongkrak partisipasinya dalam proses pengambilan keputusan politik.
Opini oleh: Robertus Dicky Armando
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Universitas Nusa Nipa
Anggota Pemuda Katolik Cabang Kabupaten Sikka.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan