Masyarakat Adat Lembata Sulit Awasi Wilayah Laut di Luar Wilayah Konservasi

waktu baca 2 menit
Keterangan foto: Workshop Sistem Registrasi Nasional Mendukung Inisiatif Lokal untuk Perubahan Iklim, Rabu, 26 Oktober 2022 di LSM Barakat, Lembata. Foto oleh:Teddi L.

LEMBATA-Upaya masyarakat adat untuk memproteksi kerusakan pada ekosistem laut di luar wilayah adatnya, menjadi lebih sulit.

Masyarakat adat hanya dapat melakukan pengawasan laut pada wilayah yang sudah diberikan kewenangan pengawasan melalui hukum adat yang dimiliki masyarakat adat.

Hal ini disampaikan oleh Koordinator Media dan Advokasi Barakat, Alfred Ike Wurin, usai mengikuti Workshop Sistem Registrasi Nasional Mendukung Inisiatif Lokal untuk Perubahan Iklim, Rabu, 26 Oktober 2022.

Pasalnya, sejak terbit Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014, beberapa sektor seperti kehutanan, pertambangan dan perikanan menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.

Regulasi ini cocok diterapkan di daerah lain, namun untuk provinsi kepulauan seperti NTT, khususnya Lembata sebagai kabupaten yang pulaunya terpisah dari pulau Flores, akan jauh lebih sulit.

Lanjut Alfred, masyarakat adat punya kekayaan budaya termasuk konservasi. Misalnya di Lembata ada Muro sebagai hukum adat yang mengatur tentang pengelolaan laut secara lestari.

“Sekarang di Lembata lagi, ramai-ramai melaksanakan muro tetapi ada keterbatasan masyarakat adat mengontrol aktivitas perikanan di wilayah sekitar Muro,” ujar Alfred.

Di Lembata, kontrol itu dilaksanakan oleh UPT Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT yang kantornya berada Flores Timur. Wilayah kerjanya mencakup tiga Kabupaten yaitu Lembata, Flores Timur dan Sikka.

“Meskipun teman-teman UPT sudah berusaha keras tapi karena wilayah yang luas dengan personil yang terbatas sehingga tidak dapat mengontrol aktivitas perikanan secara maksimal,” ungkap Alfred.

Lanjut Alfred, hal ini merupakan dampak dari kecenderungan pembangunan di Indonesia yang sering mengabaikan wilayah-wilayah kepulauan. Padahal, kerentanan pulau-pulau kecil terhadap dampak perubahan iklim, jauh lebih besar.

Idealnya, sektor kelautan menjadi kewenangan kabupaten sehingga ada intervensi anggaran di tingkat kabupaten untuk melakukan pengawasan. Tujuannya untuk mendekatkan pengawasan dan mempersempit wilayah kerja.

Senada dengan Alfred, Ande Maing, salah satu masyarakat adat yang ikut dalam workshop ini, menjelaskan bahwa masyarakat tidak memiliki infrastruktur pendukung seperti kapal dan lainnya, untuk melakukan pengawasan.

“Bagaimana masyarakat mengawasi laut yang begitu luas hanya dengan perahu yang yang seadanya (tradisional),” gugat Ande.

Lanjutnya, Nelayan dari luar melakukan aktivitas perikanan dengan cara-cara yang dapat merusak ekosistem laut.

Meskipun Muro sudah banyak membantu mengontrol aktivitas perikanan yang tidak ramah lingkungan. Tetapi peran pemerintah melakukan pengawasan di wilayah sekitar muro pun tetap penting.

Upaya ini dapat meminimalisir kerusakan ekosistem laut yang berdampak secara langsung kepada masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *