Praktisi Hukum Sebut Ada Dua Tindak Pidana Pada Kasus Dugaan Jual Beli Proyek di Manggarai

waktu baca 4 menit
Keterangan foto: Praktisi Hukum, Edi Hardum. Foto:Dok. Pribadi.

RUTENG-Kasus dugaan jual beli proyek di Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terus mendapat sorotan publik karena menyeret nama istri Bupati Manggarai, Meldyanti Hagur Nabit. 

Meldyanti diduga ikut terlibat dalam kasus jual beli proyek sebesar Rp 50 juta fee untuk empat paket proyek seperti pengakuan awal Adrianus Fridus, kontraktor asal Kecamatan Lelak, Kabupaten itu.

Kini, Meldy telah diperiksa penyidik Tipikor Polres Manggarai pada Kamis, 15 September lalu setelah dua kali mangkir dari panggilan penyidik.

Kasus tersebut kini menjadi sorotan publik, salah satunya praktisi hukum alumni UGM, Edi Hardum.

Praktisi hukum yang berdarah Manggarai itu menilai bahwa kasus jual beli proyek yang sedang hangat di Manggarai ini memiliki dua tindak pidana.

“Ada dua tindak pidana yang saya lihat dalam kasus ini. Saya tidak sepakat bahwa kasus ini tidak ada tindak pidananya,” jelas Edi Hardum kepada media ini melalui sambungan telepon pada, Selasa (20/09) siang.

Ia menjelaskan bahwa tindak pidana itu ada hanya saat ini tergantung bagaimana polisi menggali. 

Pertama menurutnya adalah tindak pidana kolusi. Polisi harus menggunakan UU Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN. Pasal 1 ayat 2 dalam UU ini menyebutkan, kolusi ada permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat atau negara.

“Jadi disini, penyelenggara negaranya siapa? Istri Bupati bisa. Kemudian yang dirugikan siapa di sini? Karena ada yang mengatakan tidak ada kerugian negaranya. Nah kerugian bagi orang lain, masyarakat? Ini yang harus didefinisikan, kerugiannya itu apa? Yaitu menipu masyarakat itu. Di sini ada unsur barang siapa nya siapa,” bebernya. 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa unsur barang siapa nya adalah patut diduga Rio, kontraktor dan istri bupati. 

“Patut diduga ya, itu untuk unsur barang siapa. Nah, terus unsur melakukan kolusi. Unsur melakukan kolusinya ialah mereka mengadakan pertemuan dan mengatakan janji-janji itu,” bebernya.

Jadi disini lanjutnya, unsur barang siapa yg sudah kena dan unsur melakukan kolusinya juga sudah kena. Oleh karena itu ia meminta bahwa polisi harus mengusut. Tapi harus mencari asas dengan pembuktian materil.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa pada pasal 1 ayat 5 UU tersebut yaitu nepotisme. Nepotisme adalah perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. 

“Nah di sana ada unsur nepotismenya kalau ditarik lebih jauh nanti. Nah pasal 5 ayat 4 setiap warga negara berkewajiban tidak melakukan perbuatan KKN. Hanya di sini, diperdebatkan bahwa mereka ini masuk dalam penyelenggara negara atau tidak. Itu si THL itu, THL itu bisa dipakai, karena dia bekerja di Kantor Bupati. Ini bisa ditarik dia,” lanjutnya.

“Unsur pidananya dalam kolusi ini adalah itu ada pada pasal 21. Pasal 21 itu hukumannya adalah 2 tahun penjara dan denda paling sedikit  Rp200 juta. Jadi ada tindak pidananya,” terangnya lanjut.

Lalu yang kedua jelasnya, kalau misalkan polisi tidak bisa menemukan pembuktian materil, itu bahwa tidak ada unsur tindak kolusi di sini, pengakuan berubah-ubah oleh kontraktor Adrianus seperti yang dijelaskan oleh Kapolres Manggarai itu, yang kedua adalah tindak pidana pencemaran nama baik. Di sini yang dirugikan adalah istri bupati sendiri.

“Itulah dari awal saya katakan kepada bupati, suruh istrinya itu, penjarakan si Rio itu yang menyebut-nyebut nama dia kalau dia memang merasa tidak ada dalam persekongkolan itu,” bebernya lanjut.

Jadi, lanjutnya, tindak pidananya ada dua dalam kasus tersebut. Satu kolusi bisa menyeret istri bupati. Tetapi, jika ini tidak bisa ditemukan, yang paling telak itu adalah tindak pidana pencemaran nama baik. Istri bupati sudah dicemarkan namanya dengan diberi gelar ratu kemiri. 

“Jadi sebenarnya istri bupati yang melapor di sini. Ini delik aduan sebenarnya. Istri bupati sebenarnya kalau dipanggil begini, dia segera lapor balik. Lapor si Rio sama kontraktor itu, si Anus. Ini delik aduan. Itu telak, pasalnya tidak bisa elak itu, pasal pencemaran nama baik, itu merugikan,” paparnya.

Pada bagian lain, ia menjelaskan bahwa kasus tersebut bisa juga mereka dirugikan dengan pasal 14  UU No.1 tahun 1946 tentang aturan tindak pidana di mana di sini mencemarkan orang lewat media massa, itu juga kena, sudah membuat provokasi. 

Nah kalau itu tidak benar lanjutnya, maka istri bupati harus lapor. Ia  mengaku bahwa selama ini dirinya menunggu istri bupati melapor polisi.

“Jangan-jangan beliau benar ini persekongkolan ini. Kalau ini benar ya dia harus dijerat dengan UU penyelenggaraan negara tadi,” terangnya.

Pihaknya juga mengaku bahwa tidak sepakat dengan komentar ahli hukum atau pengamat hukum yang lain yang mengatakan bahwa tidak ada unsur tindak pidana. 

“Saya katakan ada, ada tindak pidananya. Mungkin tindak pidana korupsinya masih samar-samar ya. Tetapi yang paling telak di sini adalah tindak pidana mencemarkan nama baik, mencemarkan istri bupati Manggarai. Itu yang paling telak. Yang kedua adalah dugaan tindak pidana kolusi itu,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *