PPMAN Gelar Dialog Guna Penyelesaian Konflik Pembangunan Bendungan Lambo Mbay

waktu baca 6 menit
Keterangan fot : Dialog yang digelar Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) berhasil menggelar Diskusi Publik bertajuk “Pemenuhan dan Penegakan Hak Asasi Manusia Bagi Masyarakat Adat di Indonesia” pada Senin (13/6) lalu. Foto : Istimewa

MBAY – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) berhasil menggelar Diskusi Publik bertajuk “Pemenuhan dan Penegakan Hak Asasi Manusia Bagi Masyarakat Adat di
Indonesia” pada Senin (13/6) lalu.

Diskusi Publik tersebut diselenggarakan di Komunitas Adat Rendu tepatnya di Malapoma, Desa Rendu Butowe, Kabupaten Nagekeo.

Lokasi tersebut merupakan bagian dari areal Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembanguan Bendungan Mbay/Lambo.

Diskusi publik ini menghadirkan sejumlah pembicara diantaranya Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Munafrizal Manan, Wakil Ketua Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS),
Pongky Indarti, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat – Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sjamsul Hadi, serta Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso, S.H.

Pembicara lainnya adalah Deputi II Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), Erasmus Cahyadi, dan Aktifis Perempuan asal Flores, Selviana Yolanda serta Kapolda Nusa Tenggara Timur yang diwakili oleh Kabid Propam Polda NTT, Komisaris Besar Polisi Dominicus Savio Yempormase.

Proses diskusi berlangsung alot yang di moderatori oleh Koordinator PPMAN Region Bali Nusra, Anton Yohanis Bala, S.H.

Diskusi juga menghadirkan masyarakat adat yang terdampak Pembangunan Bendungan Mbay/Waduk Lambo dan para kader masyarakat adat se-daratan Flores.

Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus menekankan pentingnya pengakuan hak-hak masyarakat adat di wilayah pembangunan.

“Ada prinsip Free, Prior and Informed Consent yang artinya masyarakat adat dan masyarakat setempat lainnya memiliki hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas setiap proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencarian, dan lingkungan mereka. Pemerintah atau pihak swasta diwajibkan berkonsultasi dan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dengan masyarakat adat. Prinsip tersebut dijabarkan sebagai hak yang melekat dan harus dihormati,” tegas Alam.

Hal sejalan disampaikan oleh Wakil Ketua Kompolnas, Pongky Indarti yang hadir secara daring. Dikatakannya, laporan Pelapor Khusus PBB terkait hak-hak Indigenous People mengenai situasi indigenous people di Asia tahun 2020 mencatat masih terdapat kriminalisasi terhadap masyarakat adat terutama berkaitan dengan pembangunan, diantaranya pembangunan di tanah-tanah adat.

“Pimpinan masyarakat adat maupun pembela hak-hak masyarakat adat menjadi target kriminalisasi dengan maksud merebut kepemilikan atas wilayah adat tanpa melalui prinsip free Prior and Informed
Consent Protect,” terangnya.

Tidak hanya itu, di Indonesia Kompolnas juga mendapat laporan terkait tindakan anggota kepolisian dalam beberapa kasus yang melakukan tindakan berlebihan terhadap tokoh-tokoh masyarakat adat. Kompolnas menilai tindakan berlebihan tersebut merupakan bentuk pelanggaran etik, tugas dan wewenang kepolisian sebagaimana telah diatur dalam UU Kepolisian Republik Indonesia.

Wakil Ketua Komnas HAM, Munafrizal Manan yang hadir secara langsung di lokasi diskusi mengungkapkan lima pola pelanggaran terhadap masyarakat adat di Indonesia. Pertama, minimnya pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Kedua, konflik agraria struktural. Ketiga, minimnya perlindungan terhadap para pembela hak-hak masyarakat adat. Keempat, pengabaian batas teritorial. Kelima, kecenderungan menyederhanakan hak-hak masyarakat adat pada sisi ekonomi semata.

“Dalam kaitannya dengan pembangunan infrastuktur, hak masyarakat adat hanya dilihat aspek ekonomi semata, lalu diberi ganti rugi dan kompensasi. Seharusnya masyarakat adat dilihat secara lebih utuh
dengan kekhasan dan keunikan, relasi sosial mereka yang unik, termasuk aspek religiositas magis dan spiritual” tegas Munafrizal.

Ditambahkannya, khusus tahun 2022 hingga bulan Juni ini Komnas HAM telah menerima 31 pengaduan dari masyarakat adat. NTT menempati urutan pertama dengan 4 pengaduan. Salah satunya terkait
Komunitas Adat Rendu dan Pembangunan Bendungan Mbay/Lambo.

“Komnas HAM sangat mendorong para pihak agar membuka ruang berdialog, berkomunikasi dari hati ke hati supaya bisa menemukan titik temu yang sama bisa diterima sehingga ada penyelesaiannya,”
tandasnya.

Dialog Damai yang Bermartabat
Pembangunan Bendungan Mbay/Waduk Lambo juga berdampak terhadap situasi pemenuhan hak-hak masyarakat adat terdampak. Masyarakat Adat dimaksud adalah masyarakat adat Rendu, Masyarakat Adat Lambo dan Masyarakat Adat Ndora sebagai pemilik ulayat yang akan dijadikan areal proyek bendungan.

Di satu sisi ada kelompok yang menyetujui pembangunan bendungan sementara di sisi lain ada kelompok masyarakat yang belum sepakat lantaran lokasi yang direncanakan dinilai merupakan wilayah ulayat dimana lokasi tersebut merupakan tempat pelaksanaan ritual, kebun, dan lahan pengembalaan ternak serta makam leluhur. Komunitas adat Rendu misalnya, selama ini dituding menolak pembangunan bendungan padahal mereka bukan menolak pembangunan melainkan menolak lokasi pembangunan yang tepat di lokasi pelaksanaan ritual adatnya. Mereka bahkan menawarkan lokasi lain untuk dijadikan waduk atau bendungan.

Sementara itu, di sisi lain mereka yang telah menyatakan setuju pun merasa belum
mendapatkan jaminan terpenuhinya hak-hak mereka.

Oleh karenanya, masyarakat adat yang terlibat dalam diskusi bersepakat untuk menggelar dialog bersama yang damai, demokratis, egaliter, dan bermartabat untuk mendapatkan solusi yang memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat adat.

“Kami komunitas adat Lambo, Rendu dan Ndora adalah satu keluarga. Permintaan saya hanya satu buka ruang komunikasi agar apa pun yang terjadi kemarin dapat kami selesaikan bersama sesuai spirit kolo sa
toko tali sa tebu, to’o Jogho waga sama (semangat gotong royong),” ungkap tokoh adat Lambo, Martinus Lado yang juga merupakan Kepala Desa Labolewa.

Para anggota komunitas adat yang hadir juga mengusulkan agar dialog dapat di mediasi oleh Komnas HAM, Ombudsman RI serta Ditjen Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Masyarakat adat memandatkan kepada Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) untuk memimpin seluruh persiapan, menyusun mekanisme dan tahapan menuju terselenggaranya dialog.

Dalam diskusi juga mengemuka sejumlah usulan pembahasan dialog yang direncanakan, diantaranya terkait kompensasi, rekognisi dan relokasi yang merupakan hak masyarakat atas suatu pembangunan.

Lebih jauh, masyarakat adat terdampak mendesak Pemda Nagekeo agar turut terlibat secara aktif dalam pemenuhan hak-hak masyarakat adat akibat pembangunan proyek strategis nasional bendungan Mbay/Lambo.

Terhadap permintaan masyarakat adat tersebut, Ditjen KMA Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sjamsul Hadi mengapresiasi keputusan forum dan bersedia terlibat.

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas HAM, Munafrizal Manan menyatakan akan memediasi para pihak terutama karena keahliannya sebagai mediator yang tersertifikasi.

PPMAN menyatakan bersedia memfasilitasi para pihak untuk menyelenggarakan dialog. PPMAN memandang pentingnya mandat dari seluruh stakeholder untuk memulai seluruh tahapan menuju dialog.

“Kami menghendaki dialog untuk menyelesaikan konflik yang ada di lapangan. Kami meyakini dialog bisa menjaga persaudaraan ini terus berlanjut. Dengan dialog kami bisa membantu negara menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Kami pastikan, semua yang hadir ingin berdialog, ini adalah orang￾orang yang cinta damai,” tegas Koordinator PPMAN Region Bali Nusra, Anton Yohanis Bala, S.H. yang memfasilitasi proses diskusi.

Polisi Menjamin Kamtibmas

Perlu diketahui, terkait proyek pembanguan bendungan Mbay/Lambo, Indonesia Police Watch telah menemukan sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polres Nagekeo.

Dugaan pelanggaran tersebut berupa penyalahgunaan wewenang, pelanggaran prosedur, dan tindakan yang berlebihan oleh anggota Polres Nagekeo kepada masyarakat adat yang tidak setuju dengan lokasi
pembangunan bendungan.

Oleh karenanya, meskipun beberapa anggota komunitas sempat mengusulkan agar Kapolres menjadi salah satu mediator namun forum akhirnya bersepakat agar polisi dalam hal ini Polres Nagekeo tetap menjalankan tugasnya sebagai penjaga Kamtibmas yang menjamin dialog berlangsung dengan aman dan damai.

Komisaris Besar Polisi Dominicus Savio Yempormase yang hadir sebagai narasumber diskusi mewakili Kapolda NTT menyatakan ketegasannya mendukung gagasan dialog untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atas rencana pembangunan bendungan Mbay/Lambo.

“Sesuai dengan undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Saya tegaskan seluruh anggota dan pimpinan kepolisian akan memberi dukungan atas terselenggaranya dialog, polisi wajib mendukung dan menjaga ketertiban masyarakat di semua prosesnya” tegas Dominicus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *