Menelaah Model Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Kabupaten Sikka

waktu baca 7 menit
Keterangan foto: Adriana Ance.
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Nipa Indonesia.

Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang undang.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut apabila ia mempunyai kesalahan.

Tindak pidana diatur dalam pasal 1 kitab undang-undang hukum pidana(KUHP) mengatakan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat dipidana/dihukum adalah perbuatan yang sudah disebutkan dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.

Istilah tindak pidana sendiri merupakan terjemahan dari “strafbaar Feit’yang biasanya disinonimkan dengan kata “delik”yang berasal dari bahasa Latin yakni “delictum”,dalam arti yang lebih luas sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang undang tindak pidana.

Berdasarkan rumusan tersebut maka delik (stafbaar feit)memuat beberapa unsur yakni, perbuatan manusia, perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, serta perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.

Saat ini tindak pidana pemerkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah, media online, maupun halaman facebook dan instagram memberitakan tentang tindak pidana pemerkosaan.

Jika mempelajari sejarah, sebenarnya tindak pidana ini dapat dikatakan sebagai bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, yang akan selalu ada dan berkembang setiap saat.

Tindak pidana pemerkosaan tidak hanya terjadi di kota kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran pengetahuan hukumnya, tetapi kerap kali juga terjadi di pedesaan yang masih memegang nilai nilai tradisi dan adat istiadat.

Pemerkosaan sendiri memilki arti yaitu suatu tindakan kriminal di saat korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, khususnya penetrasi dengan alat kelamin di luar kemauan korban itu sendiri.

Kasus pemerkosaan setiap tahun mengalami peningkatan baik secara umum yang terjadi di Indonesia maupun secara khusus yang terjadi di daerah-daerah bahkan di pelosok yang ada di negara Indonesia.

Kebanyakan korban dari kasus pemerkosaan adalah anak di bawah umur yang tidak berdaya dan takut untuk melakukan perlawanan.

Hal ini tentu saja mendatangkan kecemasan tersendiri bagi kita semua dan sebagian besar pemerhati anak dan perempuan, sebab hal ini akan sangat mempengaruhi pskologis perkembangan anak dan akan menimbulkan trauma seumur hidup pada anak itu sendiri.

Lebih mirisnya lagi ketika ditelusuri para pelaku dari tindak pidana pemerkosaan adalah orang-orang yang dikenal korban bahkan ada juga yang masih memiliki hubungan darah/keluarga dengan korban.

Hukum pidana di Indonesia telah mengatur sanksi terhadap pelaku pemerkosaan kepada anak di bawah umur, dimuat dalam pasal 287 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak secara formil hukum pidana di Indonesia telah menetapkan hukuman maksimal yaitu hukuman penjara selama 9 tahun bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 menyatakan bahwa anak yang masih di bawah umur yaitu “anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Berdasarkan uraian tersebut, Kabupaten Sikka juga menjadi salah satu kabupaten di Provinsi NTT yang tidak luput dari pemberitaan kasus pemerkosaan Terhadap anak di bawah umur.

Berdasarkan data dari Pendamping Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), pada tahun 2020 terdapat 92 kasus kekerasan seksual kepada anak, dengan penuntasan kasus sampai ke tingkat pengadilan sebanyak 65 kasus dan sisanya sedang dalam proses sidang dan banding.

Sementara itu sejak Januari hingga Oktober 2021, terdapat 75 kasus kekerasan seksual pada anak di Kabupaten Sikka. Kemudian di awal tahun 2022 tepatnya di bulan Februari, kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur kembali terkuak, dimana korban yang mengalami kekerasan seksual adalah seorang anak yang masih duduk di bangku kelas VI SD.

Bagaimana proses penyelesaian kasus tindak pidana pemerkosaan pada anak di bawah umur yang terjadi di kabupaten Sikka?

Berangkat dari data tersebut di atas tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar penyelesaian kasus pemerkosaan pada anak yang terjadi di kabupaten Sikka diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau melalui proses hukum adat, megapa demikian?

Hal ini dikarenakan, sejauh ini masyarakat beranggapan bahwa proses penyelesaian secara adat dinilai mampu mengembalikan hak-hak korban yang dianggap sebagai bentuk pemulihan hak korban.

Selain itu, faktor kedekatan atau hubungan keluarga antara korban dan pelaku yang masih memiiliki hubungan darah sehingga untuk menjaga nama baik keluarga besar, maka tidak lah heran proses penyelesaian secara hukum adat masih dianggap sebagai primadona dalam penyelesaian kasus pemerkosaan pada anak di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Sikka.

Proses penyelesaian kasus tindak pidana secara kekeluargaan sendiri dalam hukum positif kita kenal dengan nama “Restorative Justice”.

Makna dari Restorative Justice yaitu Suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya suatu keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Dengan kata lain, mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi korban dan pelaku.

Sebuah tanda tanya besar muncul dalam benak saya apakah dalam kasus tindak pidana pemerkosaan dapat diterapkan Restorative Justice?

Karena jika dilihat dampak yang akan dialami oleh korban secara khusus kita melihat korban yang masih dikategorikan anak, dimana akan berdampak pada pertumbuhan psikologis anak serta rasa trauma yang akan dialami oleh anak seumur hidupnya.

Kondisi ini tentu saja tidak seimbang jika hanya diselesaikan secara kekeluargaan atau hukum adat semata.

Sebenarnya, hukum adat yang di jalankan harus bisa sejalan dengan hukum positif yang seharusnya dalam artinya sang pelaku pemerkosaan tetap menjalankan hukuman adat dengan tanpa menghilangkan hukum positif yang tertuang dalam undang undang KUHP.

Undang-Undang TPKS Berpihak Kepada Korban

Menjawab kekhawatiran kita semua, baru- baru ini pada tanggal 12 April 2022 Pmerintah telah mengesahkan Rancangan Undang Undang Kekerasan Seksual ( RUU TPKS), setelah enam tahun dibahas dan terus menjadi polemik di DPR RI (Senayan).

Undang-undang ini disahkan dengan banyak harapan, dimana ada penantian korban, penantian perempuan Indonesia, kaum disabilitas, dan anak anak Indonesia dari predator seksual yang selama ini masih bergentayangan.

Undang-Undang TPKS ini merupakan undang-undang yang berpihak kepada korban. Melalui UU ini, aparat penegak hukum akhirnya memiliki payung hukum atau legal standing yang selama ini belum ada untuk menangani setiap jenis kasus kekerasan seksual, dimana Rancangan UU ini juga memuat tentang Victim Trust Fund atau dana bantuan korban.

Ini adalah sebuah langkah yang maju bagaimana hukum hadir dalam dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia. UU TPKS terdiri dari 8 Bab dan 93 pasal dengan sepuluh poin penting yang perlu kita ketahui bersama yaitu:

1.Semua perilaku pelecehan seksual termasuk kekerasan seksual.
Hal ini tertuang dalam pasal 4 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan non fisik berupa isyarat, tulisan dan atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual non fisik.

2.Memberikan perlindungan kepada korban tertuang dalam pasal 4 ayat 1.

3.Memberikan denda dan pidana terhadap pemaksaan hubungan seksual
Tertuang dalam UU TPKS pasal 6 yaitu pidana penjara paling lama 9 tahun dan atau denda sebesar RP 200 juta.

4.Pidana Penjara atau denda untuk tindak pemaksaan perkawinan tertuang dalam pasal 10 UU TPKS. Hukuman penjara maksimal 9 tahun dan denda maksimal 200 juta.

5.Terdapat pidana tambahan untuk pelaku kekerasan seksual tertuang dalam pasal 11 UU TPKS.

Adapun pidana tambahan yang dimaksud pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pembayaran restitusi.

6.Ancaman pidana dan denda untuk korporasi yang melakukan TPKS
tertuang dalam pasal 13 UU TPKS.

7.Keterangan saksi/korban dan satu alat bukti, cukup untuk menentukan terdakwa.

8.Korban memiliki hak untuk mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.

9.Korban berhak atas pendampingan.

10.Tidak bisa menggunakan pendekatan Restorative Justice.

Penulis berharap, semoga dengan adanya UU TPKS ini, dengan menitik beratkan pada 10 poin tersebut diatas, menjadi harapan kita bersama secara umum warga Indonesia dan khususnya masyarakat Kabupaten Sikka agar tidak bertambah lagi kasus kekerasan seksual pada perempuan khususnya pada anak dibawah umur.

Harapan lainnya, semoga kepada pelaku dapat diterapkan hukuman sebagaimana yang telah diatur dalam undang undang yang yang telah ditetapkan dan tidak ada lagi penyelesaian menggunakan asas Restorative Justice sebagaimana yang tercantum dalam bunyi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Penulis: Adriana Ance.
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Nipa Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *