Geliat Seni dan Kebudayaan Lembata Mulai Digerakan Melalui Film
Langit Jingga Film kemudian menggelar acara nonton film bersama dan diskusi dalam rangka memperingati Hari Film Nasional ke-72 di pelataran SMK Kusuma Bakti Lewoleba, 30 Maret 2022. Foto : Istimewa
LEMBATA, FLORESPEDIA.id – Komunitas Langit Jingga Film semakin menunjukkan eksistensinya di Lembata pasca memproduksi sebuah film dokumenter budaya berjudul Uta Weru Lewuhala.
Film yang mengangkat ritual pesta kacang masyarakat adat Lewuhala di Ile Ape ini telah ditayangkan di desa Jontona, Watodiri dan Kota Lewoleba pada awal tahun 2022.
Langit Jingga Film kemudian menggelar acara nonton film bersama dan diskusi dalam rangka memperingati Hari Film Nasional ke-72 di pelataran SMK Kusuma Bakti Lewoleba, 30 Maret 2022.
Diskusi dengan tema ‘Kolaborasi Untuk Kemajuan Film dan Kebudayaan itu juga merefleksikan kembali makna eksistensi Langit Jingga Film sebagai sebuah komunitas seni di Kabupaten Lembata.
Abdul Gafur Sarabiti, anggota Langit Jingga Film, menyebutkan, bahwa sejak tahun lalu, kala memproduksi film fiksi bertema Suku Bajo di Lembata, para penggiat film mulai mewacanakan konsep ekosistem film di Lembata. Ini tentu suatu gagasan yang bagus dan maju jika ingin iklim berkesenian di Lembata terus tumbuh dan tidak mati suri.
Ekosistem, menurut penggiat budaya Lembata itu, ialah suatu lingkaran karya dan kreativitas yang hidup dan mengisi ruang-ruang berkesenian, dalam konteks ini di Lembata. Langit Jingga Film terus berupaya menghidupkan sebuah ekosistem film yang sehat dan berkualitas.
“Produksi film Bajo yang melibatkan banyak komunitas di Kota Lewoleba adalah titik yang tidak kalah penting dalam geliat memajukan ekosistem film dan kebudayaan di Lembata,” kata Gafur, sapaan akrabnya, saat ditemui di Lewoleba, Sabtu (2/4).
Gafur berujar Langit Jingga Film bakal menggelar Kongres pertama pada tanggal 3 April 2022 di Aula Perpustakaan Daerah, Kota Lewoleba. Dia sangat berharap kongres perdana ini bisa menjadi momentum awal bagaimana inisiasi program-program kolaboratif mulai dikelola secara profesional.
“Langkah-langkah memajukan ekosistem film dan kebudayaan harapannya bisa lebih terukur dan tepat,” tandasnya.
Seniman Haris Dores, dalam refleksinya saat peringatan Hari Film Nasional, berharap Langit Jingga Film tetap berkarya dan menggerakkan geliat kesenian dan kebudayaan di Lembata.
Haris mengamati Langit Jingga cukup konsisten mendorong semangat anak muda dalam berkesenian. Lebih dari itu, melalui karya film, Langit Jingga juga tampak terus berupaya merekam realitas sosial di sekitarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ricko Blues, jurnalis yang dihadirkan sebagai pembicara dalam acara peringatan hari film. Dia bahkan mengajak Langit Jingga Film mendefinisikan kehadiran mereka secara lebih inklusi, sebagai wadah komunitas-komunitas seni di Lembata bertumbuh dan berkembang di dalamnya.
Bahkan, secara konkret, menurut dia, Langit Jingga Film juga perlu membangun jejaring (networking) dengan komunitas-komunitas di luar Lembata, seperti di Larantuka, Maumere, Kota Kupang dan kota-kota lainnya di Indonesia. Dengan begitu, tak hanya manfaat jejaring saja yang didapat, tapi secara internal Langit Jingga juga bisa mengukur kualitas karya dan kedalaman isu yang diangkat dalam karya ketika berhadapan dengan komunitas-komunitas lain di NTT.
Sineas Elmo Alessio mengaku Langit Jingga juga sudah membangun komunikasi dengan komunitas-komunitas lain di tempat lain, seperti Komunitas Film Kupang dan beberapa kota lainnya di Indonesia.
Dalam peringatan hari film nasional itu, film dari Jogja berjudul Anak Lanang dan Untuk Mama dari Komunitas Ugu Maumere. Dua film pendek ini juga mendapat apresiasi dari Langit Jingga Film.