Kades Loke Keluhkan Ada Uang Jaminan bagi Warga Pemegang Kartu Sikka Sehat yang Melahirkan di Puskesmas Wolofeo

waktu baca 5 menit
Kepala Desa Loke Benediktus Nong Bai

MAUMERE-Kepala Desa Loke Benediktus Nong Bai mengeluhkan adanya persyaratan uang jaminan saat seorang warga desanya yang melahirkan di Puskesmas Wolofeo pada Senin (7/2) malam.

Dirinya merasa heran karena sebagai keluarga pemegang Kartu Sikka Sehat (KSS), warganya harus mengeluarkan uang jaminan sebagai persyaratan bisa mendapatkan pertolongan medis melahirkan dan keluar dari Puskesmas Wolofeo usai melahirkan.

“Saya heran kenapa warga saya yang adalah keluarga pemegang Kartu Sikka Sehat dibebankan lagi dengan uang jaminan saat partus di Puskesmas Wolofeo,” ungkap Kades Benediktus Nong Bai, Kamis (10/2) sore.

Kades Benediktus Nong Bai mengungkapkan, seorang warganya bernama Avelina Saja yang mana memiliki Kartu Sikka Sehat masuk untuk melahirkan di Puskesmas Wolofeo pada Minggu (6/2) malam.

Kemudian, saat akan keluar dari Puskesmas Wolofeo untuk kembali ke rumah pada Selasa (8/2) sore, pihak Puskemas meminta uang jaminan sebesar Rp.429 ribu.

Menurut pihak Puskesmas Wolofeo, uang jaminan ini dibebankan pihaknya karena pasien yang melahirkan ini belum memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) BPJS Kesehatan.

Uang yang diberikan pihak keluarga tersebut hanyalah disimpan sebagai uang jaminan dan akan dikembalikan pihak Puskesmas Wolofeo kalau keluarga tersebut sudah memiliki Kartu KIS-BPJS.

Selaku Kepala Desa, Benediktus Nong Bai mempertanyakan adanya kebijakan pemberlakuan uang jaminan bagi keluarga pemegang Kartu Sikka Sehat.

Menurutnya, selaku kepala desa, dirinya belum mendapatkan penjelasan yang lengkap dari pihak Puskesmas Wolofeo terkait kebijakan pemberlakuan uang jaminan bagi warga miskin yang berobat.

“Apakah kebijakan ini berlaku merata untuk semua keluarga yang menggunakan Kartu Sikka Sehat saat berobat? ujarnya.

Dirinya makin merasa heran karena sebelumnya ada 2 pasien partus dari Desa Loke pemegang Kartu Sikka Sehat bersalin di Puskesmas Wolofeo tetapi tidak ada uang jaminan persalinan yang harus dikeluarkan keluarga.

“Mulai kapan uang jaminan ini diberlakukan di Puskesmas Wolofeo sehingga ada warga saya yang harus bayar uang jaminan dan ada yang tidak dikenakan uang jaminan. Padahal, mereka sama-sama pemegang Kartu Sikka Sehat,” ungkap Benediktus Nong Bai.

Menurutnya, Kartu Sikka Sehat adalah salah satu program Bupati Sikka untuk mengakomodir warga miskin yang belum memiliki kartu KIS-BPJS untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun di rumah sakit pemerintah. Sehingga menjadi aneh ketika warga miskin pemegang Kartu Sikka Sehat dikenakan uang jaminan saat berobat ke Puskesmas Wolofeo.

Ia menambahkan, jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Loke sebanyak 227 KK. Sebanyak 75 KK merupakan pemegang Kartu Sikka Sehat dan 152 KK pemegang Kartu KIS BPJS.

Sementara itu, Kepala UPTD Puskesmas Wolofeo, Yohanes Edmundus Jawa yang dikonfirmasi via telepon pada Kamis (10/2) malam, membenarkan adanya pemberlakuan uang jaminan bagi warga pemegang Kartu Sikka Sehat yang berobat di Puskesmas Wolofeo.

Uang jaminan ini terkhusus pada ibu yang hendak melahirkan dan belum memiliki Kartu KIS-BPJS Kesehatan.

Menurutnya, langkah pemberlakuan uang jaminan ini adalah inisiatif yang diambil pihaknya selaku pengelola UPTD Puskesmas Wolofeo hanya untuk mempercepat warga dalam mengurus Kartu KIS-BPJS. Jika warga telah memiliki Kartu KIS maka uang jaminan tersebut akan dikembalikan secara utuh.

Terhadap 2 warga Desa Loke yang bersalin di Puskesmas Wolofeo tidak dikenakan uang jaminan, Kapus Wolofeo menjelaskan, hal tersebut karena pada tahun 2021 lalu, pihaknya mendapatkan Dana Jaminan Persalinan dari Kementerian Kesehatan sehingga warga masyarakat yang tidak memiliki kartu, oleh pihaknya diminta mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sehingga tidak mengeluarkan biaya lagi.

“Tahun lalu ada Dana Jampersal yang mengakomodir itu termasuk pemegang Kartu Sikka Sehat, kalau tahun ini dananya sudah tidak ada. Mungkin karena covid ini sehingga pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan, tidak lagi menglokasijan khusus untuk biaya persalinan dengan penjemputan dan pemulangan,” ungkapnya.

Ditanya apakah pemberlakuan uang jaminan sesuai ketentuan petunjuk teknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Kapus Wolofeo mengatakan, ini adalah inisiatif yang dilakukan pihaknya.

“Ini kan jasa pertolongan persalinan dari teman-teman bidan. Kami pada prinsipnya membantu masyarakat, apalagi masyarakat kami sendiri. Jadi tidak bermaksud apa-apa juga, cuman ini hanya untuk mempercepat proses pengurusan Kartu KIS-nya. Jadi, kita minta ini juga sebagai jaminan. Kalau seandainya bapa desa dan keluarga yang bersangkutan lebih cepat mengurus KIS, berarti uang jaminan itu 100 persen dikembalikan. Kita tidak pakai itu uang,” ungkap Kapus Wolofeo.

Ia juga menyampaikan, terhadap pemberlakuan uang jaminan ini memang sudah dikeluhkan oleh Kepala Desa Loke. Dirinya juga sudah menyampaikan penjelasan.

Selain itu, dirinya juga sudah menjelaskan inisiatif ini kepada Camat Tanawawo dan Kepala Bidang Yankes supaya ada semacam petunjuk teknis dikeluarkan.

“Kami posisi ini juga serba salah. Kami minta juga sebagai jaminan salah tetapi di dalam Perda itu ada. Ada pada Perda Jasa Pertolongan Persalinan. Saya minta Bapak Camat bertemu dengan Ibu Kabid Yankes dan Kadis Kesehatan agar kami diberikan surat penegakan resmi bahwa kalau pun yang punya Kartu Sikka Sehat atau yang tidak memiliki tetapi mempunyai SKTM, kami harus layani gratis, kami ikut saja. Memang, kami posisi sekarang, kami belum mendapatkan kepastian,” ungkap Kapus Edmundus Jawa.

Ia menegaskan, langkah yang diberlakukan ini tidak bermaksud untuk menyusahkan masyarakat namun sebagai upaya untuk mempercepat proses pengurusan Kartu KIS-BPJS Kesehatan.

Ia menuturkan, memang saat ini sudah ada keluhan dari Kades Loke dan ini menjadi bahan masukan untuk pihaknya selaku pengelola berkonsultasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka sehingga dalam penerapan di lapangan tidak menimbukan masalah.

“Ini juga kasus pertama. Saya sudah tindaklanjuti berkonsultasi dengan bapa camat untuk berkoordinasi dengan dinas kesehatan. Jadi tidak ada kebijakan bahwa ini diberlakukan sejak Januari atau apa. Kami berharap banyak dari dinas kesehatan, biar dinas kesehatan memberi kami kepastian, agar kami tidak salah mengambil langkah. Saat ini kami dilema. Kami harus seperti apa, mau maju juga salah mundur juga salah,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *