Tangani Kasus Kekerasaan Perempuan dan Anak, TRUK Akui Banyak Hambatan

waktu baca 4 menit
Keterangan foto: Koordinator Truk Maumere Suster Fransiska Imakulata SSPS dalam konferensi pers bertempat di kantor TRUK Maumere, Selasa (8/2). Foto: Athy Meaq.

MAUMERE – Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK ) Maumere akui adanya sejumlah hambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak baik di kabupaten Sikka maupun  Kabupaten Ende.

Koordinator TRUK, Suster Fransiska Imakulata, SSpS dalam konferensi Pers pada Selasa(8/2) bertempat di kantor Truk Maumere kabupaten Sikka membeberkan temuan dalam Catatan Tahunan 2021 TRUK mencatat ada 101 korban yang melaporkan kasusnya, dengan rincian sebagai berikut: 68 korban anak dan 33 korban perempuan dewasa. 

Dari 101 korban, ada 92 pengaduan yang diterima oleh TRUK Maumere dan 9 pengaduan diterima oleh TRUK cabang Ende. Prosentase jumlah pengaduan di tahun 2021 mengalami penurunan 12,87% dibandingkan tahun 2020 (pengaduan 114 korban).

Penurunan pengaduan tersebut menggambarkan fakta kekerasan yang terjadi kerena penurunan itu tidak signifikan.

Suster Fransiska Imakulata mengakui Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Dalam Pacaran, adalah bentuk kekerasan yang angka pengaduannya paling tinggi, dengan jumlah korban yang melapor sebanyak 59 orang (58,42%).

Untuk KDRT ada 13 orang istri dan 30 anak yang melapor dan untuk KDP ada 16 orang yang melapor.

Posisi perempuan/istri yang belum menikah sah menjadi kendala tersendiri dalam proses hukum, ini dialami oleh 4 orang istri dari 13 istri yang melapor (30,77%). 

Korban kekerasan dalam ranah personal, umumnya mengalami kekerasan berlapis dan frekuensi kekerasan lebih dari satu kali.

Untuk korban perempuan dewasa termasuk Istri, kekerasan psikis dialami oleh 17 orang, kekerasan fisik dialami oleh 16 orang, kekerasan seksual dialami oleh 16 orang, 7 diantaranya mengalami perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dan kekerasan ekonomi/penelantaran dialami oleh 21 orang.

Untuk korban anak, kekerasan psikis dialami oleh 23 orang, kekerasan fisik dialami 13 orang, kekerasaan ekonomi/penelantaran ekonomi dialami oleh 21 orang, kekerasan seksual dialami oleh 17 orang (11 diantaranya hamil).

Kekerasan berbasis gender online (KBGO) dialami oleh 5 orang. Kekerasan di ranah privat merupakan kekerasan yang paling sulit diputuskan dan kecenderungan akan berulang karena adanya relasi kuasa dan ketergantung korban terhadap pelaku yang cukup tinggi. 

Selanjutnya Kekerasan terhadap perempuan dan anak di ranah komunitas dilaporkan ada  42 korban (41,58%) dengan rincian sebagai berikut; 10 korban perempuan dewasa dan 32 korban anak.

Bentuk kekerasan yang dialami korban beragam yakni: kekerasan psikis dialami oleh 14 orang, kekerasan fisik dialami oleh 2 orang, kekerasan seksual dialam oleh 19 orang, kasus perdagangan orang dialami oleh 18 korban dan Kekerasan berbasis gender online dialami oleh 1 orang.

Dalam menangani kasus kekerasan perempuan dan Anak Suster Fransiska Imakulata mengakui banyak hambatan.

Hambatan pertama, Pemerintah Kabupaten Sikka dan Pemerintah Kabupaten Ende belum optimal dalam mengimplemantasikan PERMEN PPPA Nomor 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban kekerasan, terkait 5 layanan dasar bagi korban yakni: layanan pengaduan, kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan dan penegak hukum,serta reintegrasi sosial.

” Hal ini disebabkan keterbatasan sumber daya manusia,sarana dan prasarana ,” kata Suster Fransiska Imakulata.

 Selain itu hambatan kedua yaitu belum adanya Unit pelayanan Teknis Daerah (UPTD) bagi korban kekerasan di Kabupaten Sikka dan kabupaten Ende yang menjadi tangung jawab negara.
 
Terbatasnya dan kapasitas APH yang berpersektif  korban dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

 Belum adanya saksi ahli yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan terkait dengan visum et repertum psikiatrikum dalam kasus kekerasaan seksual dan kasus KBGO/ Cyber growing.
 
Masih kuatnya stigma, diskriminasi terhadap korban dan ampunitas bagi pelaku di masyarakat. 

Belum adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang kekerasan seksual dengan bentuk yang beragam, yang berpihak berpihak kepada korban.

Lemahnya control pemerintah terkait dengan fungsi tempat hiburan malam yang disinyalir terjadi prostitusi anak.

“Hambatan yang terakhir adalah minimnya control masyarakat terhadap APH dan penyelenggaraan negara terkait tanggung jawab mereka dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasaan terhadap perempuan dan anak,” ungkap Suster Fransiska Imakulata.

 Kontributor Athy Meaq.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *