Pengamat Maritim: Ada Potensi perubahan status dari Tawanan Perompak menjadi Tahanan Perang Bagi Pelaut Indonesia di Kapal Rwabee yang Dibajak
JAKARTA-Pemberontak Houthi Yaman menolak untuk membebaskan kapal barang Rwabee yang dibajak mereka semenjak 2 Januari 2022.
Alasan penolakan tersebut menurut pejabat milisi Houthi, Hussein Al-Azzi yang dilansir media Arab News Sabtu (15/1/2022) lalu, karena kapal itu membawa senjata untuk Koalisi Arab untuk mendukung legitimasi di Yaman. Bahkan pejabat tersebut juga menyebutkan dalam cuitannya di twitter bahwa kapal itu juga tidak dimuati kurma atau mainan anak-anak, tetapi sarat dengan senjata.
Dengan adanya penolakan dari petinggi Houthi untuk pembebasan kapal Rwabee, lalu bagaimana dengan nasib para awak kapal yang ikut ditahan, yang salah satunya WNI, Surya Hidayat Pratama, Chief Officer?
Menurut berita yang dimuat beberapa media, kabarnya kondisinya baik dan berada di hotel di Yaman. Tapi hingga kini belum ada kepastian kapan akan dibebaskan. Lalu dalam situasi seperti ini, posisi awak kapal WNI tersebut sebagai apa jadinya?
Menilik peristiwa itu Pengamat Maritim yang juga Mantan KaBais, Laksamana Madya Sulaiman Ponto berpendapat bahwa Arab Saudi dalam kondisi berperang di wilayah tersebut dan kapalnya ditahan oleh pemberontak Yaman atau Houthi. Posisi awak kapal dapat sebagai tawanan kapal yang dibajak atau tahanan perang.
“Kapal Rwabee berbendera UEA dan disewa oleh Arab Saudi. UEA dan Arab Saudi masuk dalam koalisi yang berperang dengan pemberontak Houthi. Jadi bisa berbeda versi status dari awak kapal yang ditahan oleh Houthi. Apalagi menurut versi Arab Saudi kapal tersebut dibajak, jadi status awak kapal adalah disandera oleh Pemberontak Houthi. Sementara menurut versi Pemberontak Houthi kapal tersebut adalah kapal militer, karena mengangkut perlengkapan militer yang ditangkap dalam operasi militer, bukan tidak mungkin bila awak kapal berpotensi dianggap sebagai tahanan perang atau prison of war (POW),” kata Sulaiman Ponto kepada media Selasa (18/1/2022).
Dan mengenai sampai kapan para sandera khususnya pelaut Indonesia dapat dibebaskan, menurut Sulaiman, sangat tergantung pendekatan dari pemerintah Indonesia.
“Yang menangkap harus dapat diyakinkan bahwa yang ditangkap itu bukan warga Arab Saudi,” ungkapnya.
Sementara itu pendapat yang hampir senada mengenai penyanderaan awak kapal Rwabee juga datang dari Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa S.SiT., Pengamat Maritim yang juga salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI).
Menurutnya terdapat risiko yang dihadapi para pelaut ketika melewati daerah konflik seperti perang antara Koalisi Arab Saudi dan Pemberontak Yaman ini. Negara Indonesia pun memiliki Perpu No. 23. Tahun 1959 sebagai pengganti UU No. 74 tahun 1957 yang dapat sedikit banyak menjelaskan situasi tersebut.
“Perang pemberontakan di Yaman sudah berlangsung selama 6 tahun. Artinya, setiap Pelaut WNI yang sign on di kapal-kapal negara-negara yang terlibat pertempuran di Yaman dan berlayar di area pertempuran atau konflik tersebut, tentunya memahami risiko yang akan dihadapi, bila kapalnya terlibat langsung dalam konflik tersebut. Bila berkaca kepada kita, apa yang dilakukan oleh para Pemberontak Houti di Yaman patut saya duga adalah bagian dari strategi perang mereka saat ini. Kenyataan bahwa hanya kapal-kapal berbendera koalisi yang menjadi target para Pemberontak Houti di Yaman menjadi penguat dasar berfikir kita, bahwa apa yang dilakukan oleh Para Pemberontak Houti di Yaman adalah bagian dari startegi perang mereka. Kita harus berkaca bahwa Negara Indonesia pun memiliki Perpu No. 23. Tahun 1959 sebagai pengganti UU No. 74 tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya dimana pasal 37 di Perpu tersebut menggambarkan bahwa pemerintah dalam situasi perang dapat mengambil langsung Kapal-Kapal niaga berbendera Indonesia dan dijadikan sebagai kapal perang Indonesia (Kapal untuk keperluan perang), ” ungkapnya kepada media selasa (18/1/2022).
Karena itu sambung Capt. Hakeng, kedepan perlu ada edukasi khusus bagi para Pelaut Indonesia, supaya mereka paham risiko yang mereka hadapi.
Disamping itu menurut Capt Hakeng, para pelaut Indonesia yang bertugas di daerah rawan konflik yang dilalui, harusnya mendapatkan tambahan kompensasi dari luar penghasilan pokok yang diterima.
“Selain itu premi asuransi juga bertambah bila melewati wilayah konflik (war risk zone). Karena faktor risiko bertambah, tapi kebanyakan asuransi kapalnya yang bertambah sedangkan tambahan penghasilan bagi pelautnya seringkali dilupakan,” jelasnya.
Capt. Hakeng mengingatkan hal itu sesuai dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 84 Tahun 2013 Tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, BAB III Perekrutan dan Penempatan Pelaut Ke Tempat Tujuan Atau Ke Kapal Dan Pemulangan (Repatriasi) Bagian Kedua Pasal 20 yang menyebutkan: “Apabila perusahaan keagenan awak kapal menempatkan pelaut di atas kapal yang berlayar melalui wilayah rawan konflik, maka pemilik dan operator kapal melalui perusahaan keagenan awak kapal wajib memberi kompensasi tambahan yang besarnya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama antara pemilik operator kapal dengan serikat pekerja.
Hal lain yang dicermati oleh Capt. Hakeng mengenai tanggung jawab agen kapal yang mempekerjakan awak kapal WNI bernama Surya Hidayat Pratama, Chief Officer untuk membebaskan pelaut Indonesia tersebut.
“Saya mendesak agen kapal yang memberangkatkan Surya Hidayat Pratama secara intensif melakukan komunikasi dengan Pemerintah RI dalam hal ini Kementrian Luar Negri, agar Kemenlu dapat melakukan koordinasi dengan Pemerintah Yaman. Saya juga mendesak agar Agen Kapal dapat memberikan informasi up to date perihal perkembangan situasi terkini yang diketahuinya serta dapat melakukan komunikasi dengan perusahaan UEA selaku pemilik kapal (negara bendera kapal). Upayakan semaksimal mungkin dapat membebaskan awak kapal WNI dari tahanan pemberontak Houthi,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan