TRUK dan Jaringan Aktivis HAM Sikka Apresiasi Polda NTT yang Jerat Bos Kelab Malam di Sikka dengan Pasal TPPO

waktu baca 4 menit

MAUMERE – Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK) dan Jaringan Aktivis HAM Kabupaten Sikka mengapresiasi Polda NTT yang telah menjerat tersangka sekaligus pemilik kelab malam Johanes Vidorino Wonasoba alias Rino dengan Undang -Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam kasus eksploitasi 17 anak di klub malam di Kota Maumere. 

Apresiasi ini disampaikan perwakilan TRUK dan Jaringan Aktivis HAM Sikka dalam konfrensi pers yang digelar di Kantor TRUK, Rabu (3/11) sore. 

Koordinator TRUK, Suster Eustochia Monika Nata mengatakan, pihaknya pada Rabu (3/11), menerima surat yang ditanda tangani oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT, Kombes Eko Widodo yang menyampaikan bahwa untuk penerapan pasal, penyidik telah menerapkan Undang-Undang TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) sesuai dengan petunjuk dari JPU melalui surat P.19 sesuai surat dari Kepala Kejaksaan Tinggi NTT nomor:B-174B/N.4/Eoh.1/08/2021 tentang pengembalian hasil penyidikan perkara tersangka atas nama Johanes Enjang Vidorino Wonasoba alias Rino.

Dalam surat itu juga disampaikan oleh  Kombes Eko Widodo bahwa untuk 4 orang anak yang melarikan diri dari TRUK F, Subdit 4 Renakta Ditreskrimum Polda NTT telah melakukan penyelidikan dan berkoordinasi serta telah bekerjasama dengan Bareskrim Polri dan juga kementerian kelembagaan khususnya bidang perlindungan khusus anak dan juga koordinasi dengan P2TP2A Provinsi Jawa Barat. Hasil dari koordinasi tersebut pihak P2TP2A Provinsi Jawa Barat menjelaskan bahwa ke 4 anak yang melarikan diri tersebut berdomisili tidak menetap dan tidak berada di kampung halaman sehingga ke 4 anak tersebut hingga saat ini belum diketahui keberadaannya. 

Lanjut Suster Eustochia Monika Nata, dalam kasus 17 anak yang dieksploitasi bekerja di tempat hiburan malam, penyidik Polda NTT menerapkan hukum hanya berdasarkan Pasal 88 Jo Pasal 761 UU RI Nomor 35 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 183 ayat (1) dan (2) huruf d UU RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pihaknya menilai penggunaan dasar hukum ini tidak tepat dan tidak sempurna. 

“Dari empat pemilik kelab malam, penyidik Polda NTT hanya menetapkan satu tersangka. Penetapan tersangka yang diskriminatif. Menurut kami, polisi mendukung ketiga pemilik kelab malam yang diduga sebagai eksploitasi anak. Dan penggunaan dasar hukum yang tidak tepat dan tidak sempurna dalam kasus ini. Namun berkat perjuangan panjang dan aksi turun ke jalan, kami dapat surat pemberitahuan dari Polda NTT bahwa terhadap kasus ini penyidik telah menerapkan Undang-Undang TPPO,” ungkap Suster Eustochia Monika Nata. 

Sementara itu, Ketua PETASAN Sikka, Siflan Angi mengatakan pihaknya tetap mengapresiasi Polda NTT yang telah menerapkan Undang-Undang TPPO dalam kasus 17 anak yang diekploitasi di tempat hiburan malam. 

“Kita tetap mengapresiasi Polda NTT yang telah mengeluarkan SP2HP walaupun SP2HP ini terlambat sih. Ini terlambat karena waktunya sudah terlalu lama dari proses awal Juli lalu. Saya tidak melihat ini karena desakan. Saya tetap berpikir positif bahwa Polda NTT kerja tetap profesional tetapi belum maksimal,” ungkap Siflan Angi. 

Kendati demikian, Siflan Angi mengaharapkan tidak hanya satu tersangka yang bisa ditetapkan oleh penyidik Polda NTT. Tetapi harus ketiganya tersangka. Kalau pihak Kejati NTT P21 hanya 1 tersangka, pihaknya merasa belum lah pas. 

“Saya sebagai pejuang kemanusian, saya minta supaya kalau ini ditetapkan oleh pihak Polda NTT hanya satu tersangka berarti dugaan saya konspirasi. Kapolri sebaiknya copot ini Kapolda. Karena pelakunya 3 orang tetapi ditetapkan cuma 1 orang. Ini ada apa?” ungkap Siflan Angi. 

John Bala, SH dari Lembaga Ba’Pikir mengatakan, penetapan hari ini oleh penyidik Polda NTT boleh TPPO dari pemeriksaan yang sama, tidak ada pemeriksaan yang baru lagi. Sehingga penetapan pasal TPPO seharusnya dari awal bukan baru sekarang. 

” Yang perlu dicurigai disitu ada apa? Apakah ini bargaining position, tetapi gerakan ini jauh lebih kuat melakukan pengawalan sehingga mereka tidak bisa tunggu wakttu terlalu lama untuk menjadikan ini sumber pendapatan atau apa. Mau tidak mau mereka harus tunduk pada hukum yang sesungguhnya,” ungkap John Bala. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *