Walhi NTT: 4 Megaproyek di NTT Rusak Ekologi dan Hak Ulayat Masyarakat Sipil

waktu baca 5 menit
Keterangan foto: pose bersama peserta PDLH WALHI NTT.
Sumber foto: Dok.WALHI NTT.

KUPANG- WALHI NTT dalam Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) WALHI NTT VIII di Kupang, yang berlangsung dari 23 – 24 September 2021, menghasilkan resolusi eksternal PLDH WALHI dalam bentuk pernyataan sikap yang menyoroti masalah penghancuran lingkungan hidup dan pengabaian hak rakyat.

Direktur Eksektuf WALHI NTT Terpilih 2021-2025, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi dalam siaran pers kepada media ini mengatakan, dalam pernyataan sikap yang ditanda tangani oleh 34 lembaga anggota WALHI, disebutkan, NTT terkini seolah tampak tumbuh dalam hal pembangunan namun mengorbankan ekologi, sosial ekonomi bagi keseluruhan masyarakat NTT.

Terlebih bagi kelompok-kelompok rentan seperti nelayan, petani, masyarakat adat, kelompok disabilitas dan kaum perempuan.

WALHI NTT mengemukakan beberapa fakta pembangunan yang terang benderang menjelaskan bahwa urusan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup dinyatakan persetan oleh pemerintah.

Beberapa proyek dan kelalaian pemerintah yang menjadi perhatian WALHI-NTT karena telah dan berpotensi mengabaikan keselamatan rakyat dan lingkungan antara lain;

1.Proyek Investasi Pariwisata
Investasi Pariwisata PT. Sutera Marosi Kharisma di Pesisir Marosi Sumba Barat yang mengakibatkan petani bernama Poro Dukka yang berusaha untuk mempertahan lahan kelolanya ditembak mati oleh oknum aparat.

Sampai saat ini, kasus ini tidak tuntas dilakukan oleh negara, dalam konteks penegakan hukum dan keadilan ruang penghidupan.

Investasi pariwisata di Sumba Tengah juga telah mengakibatkan Nelayan Bernama Sony Hawolung dikriminalisasikan oleh oknum pemilik resort di Pantai Aily. Lantaran nelayan dianggap menyerobot di lahan milik resort.

Berikutnya, proyek Pariwisata premium yang dicanangkan pemerintah di Kawasan Taman Nasional Komodo. Proyek yang akan merelokasi warga Pulau Komodo demi kenyamanan wisatawan dalam ruang wisata premium.

Proyek yang memberikan karpet merah untuk perusahan pariwisata mendapatkan konsesi lahan yang notabene merupakan ruang ekosistem Komodo.

Proyek pariwisata skala besar dalam aspek ruang dan investasi ini juga dipaksakan masuk ke pulau pulau kecil. Pulau Lembata salah satu pulau yang merasakan dampaknya. Proyek pariwisata di Awololong telah mengakibatkan konflik akibat pemaksaan pembangunan tersebut.

2.Proyek Perkebunan Monokultur yang diprakarsai Pemodal dan Pemerintah

Pertama, Proyek Perkebunan Tebu dan Pabrik Gula PT. MSM telah mengakibatkan terampasnya hak hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya.

Telah mengakibatkan ratusan petani kekurangan air. Telah mengakibatkan hutan-hutan alam dibalak dengan serampangan.

Bahkan ada tiga orang masyarakat adat yang melawan pun dikriminalisasi dan dipenjarakan.

Kedua, proyek Food Estate di Sumba Tengah yang mengabaikan petani kecil tak berlahan dan menjadikan ketergantungan asupan pertanian seperti bibit dan pupuk sintetik dari industri.

Pemaksaan pembuatan ratusan sumur bor di sekitar Kawasan FE atas nama ketiadaan irigasi potensial akan menimbulkan bencana dalam jangka Panjang.

Ketiga, pengusiran masyarakat adat Pubabu yang berupaya untuk melindungi dan melestarikan Hutan Kio (larangan) mereka dari ekpansi proyek perkebunan kelor yang dicanangkan pemerintah Propinsi NTT. Proyek Ini telah mengakibatkan belasan KK kehilangan ruang hidup dan tempat tinggal.

3.Proyek Pertambangan dan Geothermal

Janji Gubernur dan wakil gubernur untuk menghentikan industri tambang di NTT diingkari. Yang terjadi justru hadir pertambangan dan pabrik semen di Manggarai Timur.

Perusahan Istindo Mitra Manggarai diberikan konsesi dengan cara membujuk dan merelokasi masyarakat adat di Lingko Lolok.

Menurut WALHI NTT, Investasi ini juga akan menghancurkan kebun kebun rakyat dan sumber sumber air masyarakat. Hak tolak masyarakat diabaikan begitu saja.

Ditambah lagi dengan ijin baru perusahan tambang mangan PT. Satwa Lestari Permai yang akan bercokol di Kabupaten Kupang.

Ijin ijin perusahan mangan kedepannya akan terus bertambah, mengingat pembangunan smelter mangan oleh perusahan Australia, PT. Gulf Mangan Grup di Bolok tengah berlangsung.

Sejak Flores ditetapkan sebagai Pulau Gheothermal setidaknya ada 6 investasi yang telah dan akan berproduksi.
Salah satunya yakni rencana Proyek Geothermal di Wae Sanno Manggarai Barat.

Proyek ini dengan jelas ditolak oleh masyarakat setempat karena berpotensi merelokasi masyarakat dari kampungnya, berpotensi menghancurkan sumber penghidupan warga berupa air, hutan, dan kebun.

Namun pemerintah tidak bergeming dan memaksakan kehendak atas proyek tersebut. Pemerintah mengabaikan hak hak tolak warga yang sudah turun temurun hidup di kampung.

Ini membuktikan bahwa urusan daya dukung dan daya tampung lingkungan diabaikan oleh pemerintah. Praktek investasi geothermal di Mataloko, Ulumbu yang bermasalah tidak dijadikan bahan evaluasi atau refleksi oleh pemerintah.

4.Proyek Infrastruktur Pemerintah

NTT dijejali dengan infrastruktur bendungan yang diprakarsai pemerintah nasional. Salah satunya proyek pembangunan Bendungan Lambo di Nagekeo yang dipaksakan dari rezim ke rezim pemerintahan.

Proyek yang terus mendapat penolakan dari warga yang dibalas dengan praktek praktek intimidasi oleh pemerintah dengan menggunakan aparat keamanan. Proyek yang diproyeksikan dengan cara merelokasi kampung masyarakat adat ini hingga kini terus dipaksakan oleh pemerintah.

WALHI NTT bersikap bahwa kebijakan kebijakan pemerintah selama ini telah abai pada urusan keselamatan rakyat, perlindungan lingkungan hidup bahkan terhadap keadilan antar generasi.

WALHI menolak pembangunan yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan menghasilkan kerentanan ekologi.

Peserta PDLH VIII yang terdiri dari 34 lembaga anggota yang bekerja bersama rakyat di berbagai pulau di NTT menyatakan sikap:

  1. Pembangunan di NTT tidak boleh mengecualikan urusan persetujuan rakyat atas pembangunan di ruang hidupnya. Persetujuan rakyat tersebut harus didasari dengan kesadaran rakyat akan dampak dari pembangunan tersebut baik positif maupun negatif. Persetujuan rakyat tidak dimobiliasi dengan iming iming kesejahteraan palsu dan lip service perlindungan lingkungan.
  2. Pembangunan di NTT harus menjadikan keselamatan rakyat dan perlindungan lingkungan hidup serta keadilan antar generasi sebagai acuan utama apakah satu jenis pembangunan diperbolehkan atau tidak.
  3. Pembangunan di NTT harus dimulai dengan kebijakan kebijakan publik yang beratensi untuk melindungi hak hak rakyat atas ruang kelolanya, perlindungan lingkungan hidup, keadilan sosial dan keadilan antar generasi
  4. Pembangunan di NTT yang tengah berjalan dan abai pada prinsip prinsip keselamatan rakyat, lingkungan hidup, keadilan sosial dan antar generasi harus dikoreksi ulang dengan signifikan
  5. Pemerintah harus menyelesaikan kasus kasus pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup lama yang belum tuntas dalam konteks penegakan hukum, keadilan ruang dan pemulihan lingkungan hidup. Seperti kasus kematian Porro Duka, Konflik Kawasan Hutan dan Kasus HGU (Nangahale, Hokeng, Walakiri)
  6. Pemodal dan Pemerintah menghentikan praktek praktek kriminalisasi terhadap rakyat (Petani, Nelayan, Pekebun) serta para pejuang lingkungan hidup, masyarakat adat, agrarian, Perempuan, Hak asasi manusia atas nama pembangunan di NTT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *