Pesona Pantai Pasir Putih di Ekowisata Hutan Mangrove Desa Reroroja, Sikka
MAUMERE, florespedia.id– Banyak cara menikmati liburan dan menenangkan diri saat akhir pekan. Salah satu pilihannya yakni dengan mengunjungi Hutan Mangrove Magelo’o, Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT.
Menikmati udara hutan mangrove sambil berjalan kaki sungguh sangat menyenangkan. Lokasi ini ramai dikunjungi warga pada akhir pekan karena diklaim sebagai destinasi yang murah dan terjangkau semua kalangan masyarakat.
Sambil membawa makanan dan minuman, pengunjung bisa menempati salah satu pondok yang berada di pesisir pantai berpasir putih. Dari pintu masuk, rumah sang pemilik hutan mangrove, pengunjung harus berjalan kaki sejauh ± 500 meter ke arah utara menuju bibir pantai melewati hutan mangrove.
Selepas menikmati sejuknya hutan mangrove, di ujung jembatan, pengunjung akan terkejut dan takjub melihat keindahan pantai dengan hamparan pasir putih dihiasi hijaunya mangrove.
Panorama pemandangan alamnya yang indah membuat kamu betah berfoto-foto dan menikmati liburanmu di tempat ini. Apalagi dengan keindahan jembatan bambu sepanjang 450 meter membentang di tengah rimbunan pohon bakau dengan ketinggian 5 meter hingga 7 meter. Ditambah suguhan pantai berpasir putih.
Di pesisir pantai terdapat beberapa tempat duduk yang terbuat dari bambu, berjejer di bawah pohon mangrove. Disiapkan bagi pengunjung untuk sekadar beristirahat bersama teman, keluarga atau pasangan sembari menikmati birunya laut dan tarian camar yang sesekali melintas.
Sejumlah pengunjung kawasan ekowisata manggrove mengakui bahwa tempat itu merupakan lokasi wisata yang murah dan terjangkau semua orang dan sangat baik untuk menenangkan diri, bersantai dengan keluarga, teman maupun pasangan.
Untuk sampai di tempat ini, pengunjung harus menempuh jarak sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Maumere.
Keindahan tempat wisata ini membuat Maumere Jazz Festival pernah digelar di pantai ini. Tercatat artis jazz papan atas tanah air tampil memikat puluhan ribu orang yang datang menyaksikan pentas musik gratis ini.
“Sejak pandemi COVID-19 melanda, tempat wisata ini sepi pengunjung,” kata Anselina Nona pemilik hutan mangrove Magelo’o saat berbincang bersama florespedia di pondok sederhananya, Minggu(5/9).
Anselina hanya memungut biaya Rp 5 ribu per orang, bahkan menggratiskan kepada yang tidak mampu. Sebelum pandemi, dia bisa mendapat pemasukan hingga Rp 500 ribu sehari saat hari libur. Sejak pandemi pendapatannya menurun hingga setengahnya.
Pendapatan yang diperolehnya di sisihkan juga untuk membeli bambu untuk memperbaiki jembatan yang sudah termakan usia. Paling lama 6 bulan sekali dirinya mengeluarkan dana hampir Rp 2 juta mengganti bambu yang sudah lapuk.
“Paling lama enam bulan sekali bambu yang sudah lapuk harus diganti. Saya harus keluarkan dana untuk beli bambu dan upah tenaga kerja untuk mengganti bambunya,” kata Anselina.
Anselina Nona menuturkan dua tahun sudah, Viktor Emanuel Raiyon atau Baba Akong, pencinta bakau yang menghutankan Magelo’o meninggalkan warisan ekosistem mangrove.
Ia katakan ada pastor yang memelihara ikan bandeng di danau yang berada di tengah hutan bakau. Makanya, sekeliling danau di pagari dengan bambu.
“Saya ada sertifikat di kawasan hutan mangrove ini. Kalau dijadikan aset desa saya tidak mengizinkan. Jalan masuk dari jalan negara menuju hutan mangrove juga telah saya beli,” ucapnya.
Anselina tegaskan tetap menjaga warisan yang ditinggalkan almarhum suaminya. Kecintaannya akan bakau tumbuh berkat sang suami akan ia wariskan kepada tiga anak dan cucunya.
Dia rutin menanam bakau setiap tahunnya di lokasi yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumahnya tersebut. Terdata 9 juta pohon bakau di hutan mangrove Magelo’o seluas sekitar 35 ha ini.
“Saya dan anak-anak saya tetap semangat melanjutkan karya suami saya. Kami akan terus menanam dan menanam sebab hutan bakau ini menyelamatkan manusia dan alam dari bahaya abrasi,” ucapnya.
Sebelum pandemi, banyak wisatawan asing juga menyambangi lokasi ini. Beberapa menteri dan Dirut bank pemerintah juga pernah datang mengunjungi hutan bakau saat acara festival musik jazz.
Anselina mengaku mau menata tempat wisata ini menjadi lebih baik namun terkendala dana.
Rimbunnya bakau membuat lebah pun bersarang di pohon-pohon bakau. Kerang dan ikan melimpah di kawasan ini.
Anak almarhum Baba Akong, Alfonso Doni Raiyon mengaku melarang nelayan melepas pukat di sekitar hutan bakau agar ikan-ikan kecil dan yang sedang bertelur tidak terkena jaring.
Doni mengaku banyak monyet termasuk monyet ekor panjang juga berada di hutan bakau ini. Ia sebutkan, apabila setiap hari diberi makan makan monyetnya akan berkerumun di jalan di dekat hutan bakau sebelah utara rumahnya.
“Potensinya besar apabila ditata dengan baik namun kami tidak memiliki dana. Apalagi saat pandemi Corona ini kunjungan wisatawan lokal juga menurun,” ungkapnya.
Doni mengaku, tidak memungut biaya apabila pengunjung yang datang tidak memiliki uang. Pengunjung pun diminta agar tidak membuang sampah plastik di areal hutan bakau termasuk di pesisir pantai berpasir putih.
Sejumlah pengunjung berharap kawasan ekowisata itu dapat dipercantik lagi sehingga semakin banyak wisatawan yang datang untuk menikmati liburan akhir pekan mereka.
“Kalau bisa pondok-pondok di sepanjang jembatan bambu dibenahi kembali sehingga pengunjung bisa beristirahat ,” ujar Else Karwayu salah seorang pengunjung.
Ia mengaku datang bersama rekan-rekannya karena tertarik unggahan oleh pengunjung di media sosial, Instagram.
“Pas lihat ada foto jalan-jalan di jembatan mangrove, dan pantai berpasir putih saya dan kawan-kawan buat janjian untuk berlibur di sini,” ungkapnya.
Kontributor : Athy Meaq
MAUMERE- Banyak cara menikmati liburan dan menenangkan diri saat akhir
pekan. Salah satu pilihannya yakni dengan mengunjungi Hutan Mangrove Magelo’o,
Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT.
Menikmati udara hutan mangrove sambil berjalan kaki sungguh sangat
menyenangkan. Lokasi ini ramai dikunjungi warga pada akhir pekan karena diklaim
sebagai destinasi yang murah dan terjangkau semua kalangan masyarakat.
Sambil membawa makanan dan minuman, pengunjung bisa menempati salah satu
pondok yang berada di pesisir pantai berpasir putih. Dari pintu masuk, rumah
sang pemilik hutan mangrove, pengunjung harus berjalan kaki sejauh ± 500 meter
ke arah utara menuju bibir pantai melewati hutan mangrove.
Selepas menikmati sejuknya hutan mangrove, di ujung jembatan, pengunjung
akan terkejut dan takjub melihat keindahan pantai dengan hamparan pasir putih
dihiasi hijaunya mangrove.
Panorama pemandangan alamnya yang indah membuat kamu betah berfoto-foto dan
menikmati liburanmu di tempat ini. Apalagi dengan keindahan jembatan
bambu sepanjang 450 meter membentang di tengah rimbunan pohon bakau dengan
ketinggian 5 meter hingga 7 meter. Ditambah suguhan pantai berpasir putih.
Di pesisir pantai terdapat beberapa tempat duduk yang terbuat dari bambu,
berjejer di bawah pohon mangrove. Disiapkan bagi pengunjung untuk sekadar
beristirahat bersama teman, keluarga atau pasangan sembari menikmati birunya
laut dan tarian camar yang sesekali melintas.
Sejumlah pengunjung kawasan ekowisata manggrove mengakui bahwa tempat itu
merupakan lokasi wisata yang murah dan terjangkau semua orang dan sangat baik
untuk menenangkan diri, bersantai dengan keluarga, teman maupun pasangan.
Untuk sampai di tempat ini, pengunjung harus menempuh jarak sekitar 30
kilometer dari pusat Kota Maumere.
Keindahan tempat wisata ini membuat Maumere Jazz Festival pernah digelar di
pantai ini. Tercatat artis jazz papan atas tanah air tampil memikat puluhan
ribu orang yang datang menyaksikan pentas musik gratis ini.
“Sejak pandemi COVID-19 melanda, tempat wisata ini sepi pengunjung,” kata
Anselina Nona pemilik hutan mangrove Magelo’o saat berbincang bersama
florespedia di pondok sederhananya, Minggu(5/9).
Anselina hanya memungut biaya Rp 5 ribu per orang, bahkan menggratiskan
kepada yang tidak mampu. Sebelum pandemi, dia bisa mendapat pemasukan hingga Rp
500 ribu sehari saat hari libur. Sejak pandemi pendapatannya menurun hingga
setengahnya.
Pendapatan yang diperolehnya di sisihkan juga untuk membeli bambu untuk memperbaiki
jembatan yang sudah termakan usia. Paling lama 6 bulan sekali dirinya
mengeluarkan dana hampir Rp 2 juta mengganti bambu yang sudah lapuk.
“Paling lama enam bulan sekali bambu yang sudah lapuk harus diganti. Saya
harus keluarkan dana untuk beli bambu dan upah tenaga kerja untuk mengganti
bambunya,” kata Anselina.
Anselina Nona menuturkan dua tahun sudah, Viktor Emanuel Raiyon atau Baba
Akong, pencinta bakau yang menghutankan Magelo’o meninggalkan warisan ekosistem
mangrove.
Ia katakan ada pastor yang memelihara ikan bandeng di danau yang berada di
tengah hutan bakau. Makanya, sekeliling danau di pagari dengan bambu.
“Saya ada sertifikat di kawasan hutan mangrove ini. Kalau dijadikan aset
desa saya tidak mengizinkan. Jalan masuk dari jalan negara menuju hutan
mangrove juga telah saya beli,” ucapnya.
Anselina tegaskan tetap menjaga warisan yang ditinggalkan almarhum suaminya.
Kecintaannya akan bakau tumbuh berkat sang suami akan ia wariskan kepada tiga
anak dan cucunya.
Dia rutin menanam bakau setiap tahunnya di lokasi yang hanya berjarak
beberapa puluh meter dari rumahnya tersebut. Terdata 9 juta pohon bakau di
hutan mangrove Magelo’o seluas sekitar 35 ha ini.
“Saya dan anak-anak saya tetap semangat melanjutkan karya suami saya.
Kami akan terus menanam dan menanam sebab hutan bakau ini menyelamatkan manusia
dan alam dari bahaya abrasi,” ucapnya.
Sebelum pandemi, banyak wisatawan asing juga menyambangi lokasi ini.
Beberapa menteri dan Dirut bank pemerintah juga pernah datang mengunjungi hutan
bakau saat acara festival musik jazz.
Anselina mengaku mau menata tempat wisata ini menjadi lebih baik namun
terkendala dana.
Rimbunnya bakau membuat lebah pun bersarang di pohon-pohon bakau. Kerang dan
ikan melimpah di kawasan ini.
Anak almarhum Baba Akong, Alfonso Doni Raiyon mengaku melarang nelayan
melepas pukat di sekitar hutan bakau agar ikan-ikan kecil dan yang sedang
bertelur tidak terkena jaring.
Doni mengaku banyak monyet termasuk monyet ekor panjang juga berada di hutan
bakau ini. Ia sebutkan, apabila setiap hari diberi makan makan monyetnya akan
berkerumun di jalan di dekat hutan bakau sebelah utara rumahnya.
“Potensinya besar apabila ditata dengan baik namun kami tidak memiliki dana.
Apalagi saat pandemi Corona ini kunjungan wisatawan lokal juga menurun,”
ungkapnya.
Doni mengaku, tidak memungut biaya apabila pengunjung yang datang tidak
memiliki uang. Pengunjung pun diminta agar tidak membuang sampah plastik di
areal hutan bakau termasuk di pesisir pantai berpasir putih.
Sejumlah pengunjung berharap kawasan ekowisata itu dapat dipercantik lagi
sehingga semakin banyak wisatawan yang datang untuk menikmati liburan akhir
pekan mereka.
“Kalau bisa pondok-pondok di sepanjang jembatan bambu dibenahi kembali
sehingga pengunjung bisa beristirahat ,” ujar Else Karwayu salah
seorang pengunjung.
Ia mengaku datang bersama rekan-rekannya karena tertarik
unggahan oleh pengunjung di media sosial, Instagram.
“Pas lihat ada foto jalan-jalan di jembatan mangrove, dan pantai berpasir
putih saya dan kawan-kawan buat janjian untuk berlibur di sini,”
ungkapnya.
Kontributor : Athy Meaq
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan