Akibat Buruknya Pelayanan Kesehatan, Bayi di Manggarai Meninggal Dunia

waktu baca 7 menit

RUTENG – Berawal dari ulah sopir puskesmas tidak masuk kantor hingga uang sebesar Rp 300.000, sepasang suami-istri asal Cia, Desa Wae Codi, Kecamatan Cibal Barat, Kabupaten Manggarai, NTT, harus merasakan duka mendalam. Pasalnya kebahagiaan mereka untuk mendapatkan sang buah hati berujung duka.

Naas menimpa keluarga Maria Anita Ngawu (23), Ibu hamil (Bumil) asal Cia, Desa Wae Codi Kecamatan Cibal Barat itu harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 300.000 untuk membayar seorang pengemudi ambulans milik puskesmas di wilayah itu.

Berdasarkan informasi yang dihimpun media ini dari pihak keluarga ibu hamil yang berinisial, RU pada, Sabtu (10/7) malam bahwa sopir ambulance milik puskesmas Wae Codi berinisial A, diminta petugas medis untuk mengantar Maria Anita ke RSUD Ruteng.

Saat itu, tutur RU, petugas mengancam keluarga pasien, jika tidak mau bayar biaya untuk sopir tersebut, maka keluarga harus mengurus sendiri pasiennya tanpa pendampingan tenaga medis.

Cerita itu berawal saat pasien Maria Anita diantar ke Puskesmas Wae Codi pada, Jumat (9/7/21) sekitar pukul 11:45 WITA. Hari itu, usia kehamilannya sudah tua dan hendak melahirkan buah cinta pertamanya dengan sang suami, Afrianus Jemarut.

Maria Anita bersama keluarganya ke Puskesmas Wae Codi hendak mengikuti proses persalinan dan ingin dibantu oleh bidan.

Saat tiba di Puskesmas Wae Codi, Maria Anita mendapatkan pelayanan medis dari bidan yang sedang bertugas.

Tidak berselang lama, sekitar pukul 12.30 WITA, tanda-tanda kelahiran muncul. Separuh kepala sang bayi sudah keluar. Namun karena belum berpengalaman, Maria Anita tak tahu. Ia tak kuat mengedan. Karena itu merupakan kehamilan pertamanya.

Ibu muda itu tak sanggup mengedan. Kondisi fisiknya justru menurun sedangkan tenaganya terus berkurang. Kepala bayi kecilnya menggantung di permukaan atau dalam istila medis sering disebut ‘bukaan 10’ atau inpartus. Sementara sang ibu terus menjerit kesakitan.

Menurut bidan yang merawatnya di puskesmas tersebut, dia harus segera dirujuk ke Rumah Sakit Umum Ruteng. Sebab di Puskesmas Wae Codi, jelasnya kepada keluarga pasien masih keterbatasan peralatan medis dan obat-obatan. Selain itu di Rumah Sakit Ruteng diyakini mendapat pelayanan yang lebih maksimal karena menurutnya fasilitas memadai.

Dikisahkan oleh RU, disitulah mulai muncul berbagai kejanggalan dan permasalahan dalam sistem pelayanan di instansi kesehatan itu. Untuk ke Ruteng pasien harus di antar dengan menggunakan mobil. Sementara, mobil ambulance milik Puskesmas itu parkir di garasi. Tetapi sang sopirnya tidak berada di tempat pada saat itu. Saat itu, menurut bidan yang bertugas, sopir ambulance di puskesmas itu tidak masuk kantor tanpa keterangan.

Karena sopir ambulance tersebut tidak masuk kantor, tenaga medis yang merawat pasien saat itu menyuruh keluarga pasien untuk memanggil sopir di kediamannya.

“Keluarga pasien disuruh untuk memanggil sopir ambulans ke rumahnya di Podor, Desa Timbu. Sebab di kira sopirnya ada di rumah,” kisah RU.

Atas saran petugas, keluarga Maria Anita lalu bergegas menyambangi rumah sopir ambulance puskesmas Wae Codi. Sesampainya di sana, pintu rumah sopir terkunci. Keluarga Maria Anita berusaha memanggil namun sia-sia.

“Kami mengetok pintu beberapa kali. Tetapi tidak ada jawaban apapun dari dalam rumah,” lanjut RU.

Karena sopir itu tidak berada di tempat, keluarga Maria Anita segera kembali ke puskesmas. Mereka basah diguyur hujan karena kebetulan saat itu sedang hujan lebat. Mereka harus bergegas cepat mengingat kondisi Maria yang harus segera mendapat pertolongan.

Kembali tiba di puskesmas, keluarga Maria Anita menemui petugas dan memberitahu bahwa sopir tidak berada di rumahnya. Mendegar kabar itu petugas lalu menyuruh keluarga Maria Anita untuk segera mencari sopir dan mobil lain.

“Petugas bilang, pasien harus segera dirujuk ke Ruteng. Petugas kembali mengingatkan dan memberitahu bahwa pasien dalam kondisi kritis,” tutur RU.

Keluarga Maria makin khawatir. Dua nyawa dalam bahaya. Ibu dan anak. Jangan sampai terjadi hal yang buruk. Keluarga Maria Anita pun segera beranjak pergi mencari mobil lain. Mobil yang berada di sekitaran puskesmas. Satu mobil didapati. Pemilik mobil bersedia menjemput dan mengantar Maria Anita untuk merawat di rumah sakit yang terletak di Ibu Kota Manggarai.

Namun saat informasi keberadaan mobil disampaikan kepada petugas puskesmas, petugas malah menyuruh agar keluarga Maria Anita untuk menggunakan mobil ambulance yang tadinya tidak ada sopir. Petugas menyuruh pihak keluarga Maria Anita untuk membawa pulang mobil yang telah dihubungi.

“Saat itu keluarga pasien ngamuk. Karena keluarga pasien ngamuk, petugas langsung mengancam keluarga pasien. Kalau tidak mau pake ambulance maka urus sendiri pasien dan antar sendiri kemana saja mereka suka,” katanya.

Keluarga Maria Anita bingung dan hendak mempertanyakan maksud dari pernyataan  petugas medis itu. Namun ternyata petugas puskesmas itu punya maksud lain. Petugas medis itu telah menemui sopir mobil ambulance puskesmas itu. Namun keluarga pasien harus membayar uang bensin dan uang rokok untuk sopir itu.

“Keluarga sebenarnya menolak. Sebab jika menggunakan ambulance berarti bersama dengan sopir yang memang bagian dari petugas puskesmas. Kenapa harus dibayar lagi?,” katanya.

Keluarga Maria Anita tidak mau berdebat panjang lebar. Mereka lebih mempertimbangkan kondisi Maria yang terus melemah. Sebab Maria Anita telah menunggu terlalu lama. Sejak pukul 13.00 WITA sampai dengan pukul 17.00 WITA. Bayi menggantung, ibunya mengerang kesakitan. Akhirnya keluarga Maria Anita mengindahkan permintaan dari petugas puskesmas dan siap membayar.

“Barulah pasien langsung di antar ambulance ke RS Ruteng dengan biaya Rp 300.000 untuk bayar sopir. Biaya tersebut dibebankan ke keluarga pasien,” katanya.

Sampai di Ruteng, Jumat (9/7) malam, Maria Anita langsung mendapatkan perawatan medis. Sang bayi masih menggantung, ia belum bisa keluar. Dokter berupaya keras. Kerja semaksimal mungkin.

Keesokan harinya, atas kerja tim medis di ruang persalinan, Maria Anita berhasil melahirkan bayinya. Namun sayang, rencana bahagianya bersama suami berakhir duka. Malaikat kecil itu tiba di dunia dengan kaku tak bernafas.

“Andai saja kemarin mamanya cepat diantar ke Rumah Sakit Ben Mboy Ruteng mungkin tidak seperti ini. Andai sopirnya masuk kantor, mungkin bayi kecil itu selamat,” kata RU.

RU mengatakan, keluarga Maria Anita menerima kondisi ini sebagai kehendak Sang Pencipta. Malaikat kecil itu hanya datang menunjukan wujud. Lalu kembali ke surga. Itu merupakan takdir.

Meski demikian, keluarga mempertanyakan keberadaan sopir ambulance itu saat dicari. Mengapa saat itu dia tidak berada di puskesmas? Padahal masih jam kerja. Apakah semua pasien harus mengalami hal seperti ini? Mengapa sopir itu harus dibayar?

“Terlalu banyak pertanyaan yang hendak kami ajukan. Ini adalah kisah pilu pelayanan kesehatan di Manggarai. Semoga pemerintah bertindak. Jangan sampai hal seperti ini terus terjadi,” tutupnya.

Sementara itu, Kepala Puskesmas Wae Codi, Mikael Edwar Kluman yang dikonfirmasi media ini pada Senin (12/7) membenarkan adanya peristiwa tersebut.

Dia menjelaskan bahwa Maria Anita Ngawu dirujuk oleh bidan desa ke puskesmas Wae Codi untuk ditangani proses persalinanya.

Karena sudah dua hari air ketuban pecah (KPD) katanya, sampai di puskesmas Wae Codi, petugas melakukan diagnosis dan hasilnya kondisi anak gawat sehingga diminta untuk dirujuk ke RSUD dr Benboy, namun keluarga menolak.

Setelah lebih kurang dua jam kemudian, kondisi pasien semakin kritis, barulah pihak keluarga setuju untuk di rujuk ke RSUD dr. Ben Mboy.

Pada saat itu, lanjut Kapus Mikael, sopir ambulance puskesmas Wae Codi sudah pulang ke rumah, sehingga petugas meminta keluarga untuk menjemput sopir ambulance.

Namun sang sopir tidak berada di rumah sehingga pihak keluarga gagal bertemu dan keluarga menginformasikan ke petugas jika tidak bertemu sopir di rumahnya.

Karena kondisi pasien semakin kritis, keluarga berinisiatif mencari kendaraan lain untuk mengantarkan pasien ke RSUD, namun petugas berkeberatan karena berkaitan dengan keselamatan pasien di perjalanan, untuk itu petugas puskesmas kembali pergi mencari sopir dirumah dan sopir sudah ada sehingga datang bersama ke puskesmas, selanjutnya bersama pasien,  keluarga dan petugas mengantar pasien dengan mobil ambulans ke RSUD dr. Ben Mboy Ruteng.

Persoalan biaya, menurut kepala puskesmas bahwa tidak ada pungli, karena semua pembiayaan untuk pasien umum yang tidak memiliki kartu KIS, JKN dan JAMKESDA berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2014 dikenai biaya transportasi ambulance sebesar Rp. 8.000 per kilometer.

“Biaya ini seharusnya dibayar sebelum pasien di rujuk, namun selama ini ada kebijakan bagi pasien yang ada uang bisa di bayar sebelum berangkat atau setelah sembuh dan pulang dari RSUD,” jelas Kapus.

Sementara itu, Camat Kecamatan Cibal Barat, Karolus Mance menjelaskan bahwa terlepas dari kebenaran klarifikasi pihak puskesmas Wae Codi, selaku camat, ia mengharapkan seluruh petugas kesehatan di Kecamatan Cibal Barat agar benar benar profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

“Perlu dibuat protap pelayanan sehingga semua pasien mengetahui seluruh tahapan pelayanan. Kepada masyarakat diharapkan untuk mengkomunikasikan secara baik dan berjenjang kepada hirarki pemerintah apabila menemukan pelayanan yang tidak profesional. pada prinsipnya masyarakat harus diberikan pelayanan secara prima,” tutup Camat Karolus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *