Kuasa Hukum Masyarakat Adat Kecam Pembersihan Lahan Eks HGU Nangahale: Tidak Manusiawi dan Melanggar Hukum

MAUMERE – Proses pembersihan lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu (22/1), menuai polemik.
Aksi ini memicu perlawanan dari masyarakat adat yang bermukim di area tersebut. Ratusan warga menghadang alat berat yang digunakan untuk meratakan bangunan di dua lokasi, yakni Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, dan Desa Runut, Kecamatan Waigete.
Dalam operasi tersebut, sebanyak 101 bangunan berhasil dibersihkan, meliputi dua rumah permanen, 95 rumah semi permanen, satu bengkel, dan tiga kios. Aksi ini dilakukan oleh PT Krisrama, yang mengklaim memiliki hak atas tanah berdasarkan sertifikat HGU sejak 29 Juli 2024.
Namun, langkah ini mendapat kecaman keras dari kuasa hukum masyarakat adat Suku Soge dan Goban Runut. Antonius Yohanis Bala, perwakilan masyarakat adat sekaligus pengurus pusat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyebut tindakan tersebut melanggar hukum dan tidak manusiawi.
Menurut Antonius, penerbitan HGU PT Krisrama didasarkan pada SK Kakanwil BPN-NTT No. 1/HGU/BPdoN.53/VII/2023 dan 10 sertifikat HGU No. 4-13 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Sikka. Ia menegaskan bahwa meski sertifikat tersebut sah, tindakan pembersihan lahan tanpa mekanisme penyelesaian hukum yang jelas adalah pelanggaran.
“Pada diktum keenam SK-HGU, ditegaskan bahwa apabila ada keberatan atau permasalahan di atas tanah yang diberikan HGU, pemegang hak wajib menyelesaikannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembersihan lahan secara sepihak tidak memiliki dasar hukum,” ujarnya.

Antonius juga menyoroti keterlibatan dua rohaniwan Katolik dalam aksi tersebut, yang dinilainya nihil kemanusiaan.
“Amat disayangkan, alat berat menghancurkan rumah warga dengan dukungan para gembala yang seharusnya melindungi umatnya,” tegasnya.
Ia menilai PT Krisrama gagal memahami mekanisme penyelesaian konflik yang seharusnya ditempuh melalui jalur hukum.
“Pembersihan baru boleh dilakukan setelah melalui proses hukum yang sah dan adanya putusan berkekuatan hukum tetap,” tambahnya.
Antonius juga mengkritik dominasi sosial PT Krisrama yang menggunakan nama “Kristus Raja Maumere,” sehingga mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah daerah.
“Ini menciptakan kesan bahwa tindakan mereka tidak mungkin salah. Bahkan aparat diam melihat kekerasan ini terjadi,” ungkapnya.
Atas peristiwa ini, Antonius dan AMAN berencana menempuh jalur hukum pidana dan perdata untuk membela hak masyarakat adat.
“Harapan untuk dialog telah pupus. Kami akan menyelesaikan ini melalui litigasi demi keadilan bagi masyarakat,” pungkasnya.