Polemik Unipa Mulai Muncul Saat Terjadi Perubahan pada Akta Pendirian-Bagian II
MAUMERE-DPRD Kabupaten Sikka pada Jumat (10/03/2023) dari pagi hingga sore, menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang menghadirkan pihak Yayasan Nusa Nipa dengan agenda terkait pengelolaan Yayasan Nusa Nipa.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Sikka bersama Yayasan Nusa Nipa dihadiri oleh Pembina Yayasan Nusa Nipa, Yosef Ansar Rera, Ketua Yayasan Nusa Nipa, Sabinus Nabu, Sekretaris Yayasan Nusa Nipa, Dr.Ir.Angelinus Vincentius, Asisten Pembangunan Setda Sikka, Robertus Ray, Kepala BPKAD Sikka, Paul Prasetya, para Anggota DPRD Sikka serta Wakil Ketua DPRD Sikka, Gorgonius Nago Bapa dan Yosef Karmianto Eri.
Rapat ini berlangsung kurang lebih 4 jam, dalam 2 sesi rapat. Dalam rapat itu, Ketua Yayasan Nusa Nipa, Sabinus Nabu, Pembina Yayasan Nusa Nipa, Yosef Ansar Rera dan Anggota DPRD Sikka, Alfridus Aeng, berbeda pendapat dan pandangan terkait sejarah pendirian awal Unipa, peran dan kontribusi Pemda Sikka maupun terkait hubungan hukum serta posisi keberadaan Pemda Sikka dalam struktur Yayasan Pendidikan Tinggi Nusa Nipa yang semula diawal pendirian bernama Lembaga Pendidikan Tinggi Nusa Nipa.
Kronologis Perubahan Akta Pendirian dari Lembaga Pendidikan Tinggi Nusa Nipa Menjadi Yayasan Pendidikan Tinggi Nusa Nipa
Penjelasan dari Ketua Yayasan Nusa Nipa, Sabinus Nabu mendapatkan tanggapan dari beberapa Anggota DPRD Sikka. Salah satunya oleh Anggota DPRD Sikka, Alfridus Aeng.
Alfridus Aeng menuturkan, ketika pemerintahan Kabupaten Sikka dipimpin Alexander Longginus bersama Yosef Ansar Rera sebagai Bupati dan Wakil bupati Sikka periode 2003-2008, dengan satu ide gagasan mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Nusa Nipa sebagaimana tertuang di dalam Akta Nomor 05 Tahun 2003, dimana akta itu disahkan pada Rabu tanggal 08 Oktober 2003.
Lanjutnya, pada Akta Nomor 05 Tahun 2003 ini, penjelasan dari para pihak pendiri yang ada 4 orang yakni Tuan Drs.Alexander Longginus Bupati Sikka, Tuan Drs.Yosef Ansar Rera Wakil bupati Sikka, Tuan Drs.Dominikus Parera Sekretaris Daerah Sikka, Tuan OLM Gudipung yang saat itu sebagai Ketua DPRD Sika. Keempat pendiri ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka.
“Keempat pendiri ini bertindak untuk dan atas nama Pemkab Sikka. Jadi dari klausul ini sudah menunjukkan bahwa Lembaga Pendidikan Tinggi Nusa Nipan yang tertera dalam Akta Nomor 05 Tahun 2003 merupakan milik Pemkab Sikka,” ujarnya.
Lanjut Alfridus Aeng, karena ini didirikan pada tanggal 08 Oktober 2003, maka pada tanggal 10 Desember 2003, DPRD Sikka periode 1999-2004, dengan keputusannya Nomor 17 Tahun 2003, memberikan persetujuan supaya Pemda Sikka mendirikan perguruan tinggi di Kabupaten Sikka.
“Jadi legitimasi itu jelas, pada Akta Nomor 05 Tahun 2003, para pendiri bertindak untuk dan atas nama Pemkab Sikka, dilegitimasi kembali oleh DPRD Sika dengan keputusannya Nomor 17 Tahun 2003. Dua lembaga ini memberikan persetujuan kepada pemerintah daerah untuk mendirikan dan membangun perguruan tinggi di Kabupaten Sikka,” ujarnya.
Dalam perjalanan waktu, di tahun 2004, ada beberapa regulasi yang berubah. Yang pertama, pendirian Akta Nomor 05 tahun 2003, saat itu Undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Regulasi yang kedua adalah perubahan terhadap undang-undang yayasan dari Undan-Undang Nomor 16 Tahun 2001 ke Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004. Lalu kemudian yang berikut adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Konsekuensi dari perubahan terhadap kedua undang-undang ini, kata Alfridus Aeng, pertama, undang-undang tentang yayasan dimana ketika didirikan dengan sebutan Lembaga Pendidikan Tinggi Nusa Nipa, harus disesuaikan dengan undang-undang yang baru tentang yayasan, maka dilakukanlah perubahan terhadap Akta Nomor 05 Tahun 2003 menjadi Akta Nomor 21 Tahun 2004.
Akta sebelumnya yang menyebutkan Lembaga Pendidikan Tinggi Nusa Nipa, berubah menjadi Yayasan Pendidikan Tinggi Nusa Nipa.
Perubahan ini untuk menyesuaikan dengan regulasi yang berlaku saat itu.
Lanjutnya, kapan Akta Nomor 21 Tahun 2004 dirubah, yakni jika dilihat sesuai aktanya yakni pada tanggal 22 Oktober 2004. Dengan mengikuti perkembangan yang terjadi, apakah DPRD Sikka mengetahui adanya perubahan akta tersebut.
Dikatakan Alfridus Aeng, pada Akta Nomor 05 Tahun 2003, DPRD Sikka mengetahui hal tersebut. Karena dengan akta itu menjadi dasar lahirnya rekomendasi DPRD Sikka dengan keputusannya Nomor 17 Tahun 2003.
Kendati demikian, perubahan dari Akta Nomor 05 Tahun 2003 menjadi Akta Nomor 21 Tahun 2004, dimana saat perubahan akta itu pada 2 Oktober 2004, DPRD Sikka periode 1999-2004, itu masa jabatan berakhir di Agustus 2004.
DPRD periode 2004-2009 itu mulai Agustus 2004-Agustus 2009. Sehingga, jika ditanya apakah DPRD periode 2004-2009, mengikuti perubahan Akta Nomor 21 Tahun 2004 tersebut, kata Alfridus Aeng, untuk perubahan akta tersebut, pihaknya tidak mengikuti perubahan akta tersebut.
“Kenapa kami tidak mengikuti perubahan akta saat itu, karena kita tahu dari bulan Agustus sejak pelantikan sampai dengan Oktober 2004, DPRD saat itu masih pimpinan sementara. Tugas pimpinan sementara adalah menyusun dan menetapkan tata terbit DPRD. Selain itu, pimpinan sementara memfasilitasi semua alat kelengkapan di DPRD. Sehingga praktis dari Oktober 2004, DPRD periode itu tidak mengikuti dan tidak mengetahui adanya perubahan akta dari Akta Nomor 05 ke Akta Nomor 21. Sehingga kalau ada pertanyaan publik, apakah DPRD tahu ada perubahan akta, jelas kami tidak tahu,” ujar Alfridus Aeng.
Lanjutnya, ketika perubahan akta ini terjadi maka di tahun 2005, mulai muncul persoalan terkait Universitas Nusa Nipa ini.
Dari Ex officio Berubah Jadi Perseorangan
Saat itu dirinya di Fraksi Gabungan DPRD Sikka mengangkat persoalan ini juga. Dimana pihaknya mencoba mensandingkan antara Akta Nomor 05 dan Akta Nomor 21.
Disitulah jelas ada perubahan-perubahan, yang tadinya di Akta Nomor 05 bisa disebut ex officio, sudah berubah menjadi perseorangan di Akta Nomor 21.
Mencermati kemelut ini, kata Alfridus Aeng, pihaknya juga melihat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam pasal 28 huruf B Undang-Undang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang turut serta dalam suatu perusahaan baik milik swasta, milik negara/daerah, atau milik yayasan dalam bidang apapun. Ini kemudian menjadi polemik, apakah bupati dan wakil bupati ini bisa sebagai pembina atau kah tidak?
Maka, menyertai seluruh persoalan itu, diudanglah 2 orang pakar dari Universitas Nusa Cendana yakni Prof.Dr.Alo Liliweri dan Dr.Jon Kotan.
Kehadiran mereka untuk mendiskusikan tiga topik yang menjadi substansi. Pertama, apakah Pemda bisa mendirikan perguruan tinggi, kedua, apakah Unipa milik Pemda dan ketiga, apakah bupati dan wakil bupati bisa sebagai pembina.
Kemudian dilaksanakan diskusi yang dihadiri dari DPRD, Pemda dan kedua pakar itu.
Hasil dari diskusi tersebut, disimpulkan bahwa pemerintah daerah bisa mendirikan perguruan tinggi, bupati dan wakil bupati bisa sebagai pembina dan yang ketiga, Unipa milik Pemda Sikka.
“Jadi tiga kesimpulan ini sudah final. Kita tidak bisa pungkiri. Yang undang pakar juga Pemda Sikka yang mana saat itu difasilitasi oleh Pak Sabinus Nabu. Ketiga pertanyaan itu yang menjadi dasar diskusi sudah disimpulkan bahwa Pemda bisa dirikan perguruan tinggi, Unipa milik Pemda, dan bupati dan wakil bupati bisa sebagai pembina. Kesepakatan itu ada dokumennya semua. Kalau kita mau melihat lagi bisa dibaca di bukunya Pak Alex Longginus berjudul “Anak Kampung yang Membawa Perubahan”. Di buku itu termuat jelas,” ungkap Alfridus Aeng.
Lanjutnya, lalu untuk memperjelas itu, pihaknya melihat bagaimana di tempat lain yang sudah mendirikan perguruan tinggi. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Gorontalo.
Lanjutnya, setelah pulang Kaji Banding di Gorontalo, pihaknya melihat bahwa di tempat lain ternyata bisa, dimana bupati sebagai pembina, pemerintah daerah mendirikan perguruan tinggi dengan milik pemerintah daerah.
Sehingga, disini terhadap organ yayasan, pihaknya merekomendasikan Bupati dan Wakil bupati Sikka sebagai pembina. Pihaknya juga merekomendasikan sekertaris daerah sebagai ketua yayasan serta DPRD sebagai pengawas dalam Yayasan Nusa Nipa.
Kata Alfridus Aeng, dengan masuknya ketiga organ tersebut, menjadi jelas bahwa Yayasan Nusa Nipa adalah milik Pemkab Sikka.
Dia juga mengatakan, dalam perjalanan waktu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Salah satu pasal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah Pasal 76 Huruf C, yang mengatakan “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang turut serta menjadi pengurus dalam suatu perusahaan baik milik swasta maupun milik negara atau daerah atau pengurus dalam yayasan bidang apapun”.
Dengan adanya perubahan ini, kemudian bisa dilihat bahwa, ketika tadi dikatakan Unipa adalah milik pemerintah daerah ketika disandingkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tidak menyebutkan salah satu organ di dalam yayasan dimana dalam organ yayasan ada tiga yakni ada pengurus, pengawas dan pembina.
“Undang-undang tidak menyebutkan itu, sehingga itu, apakah bupati bisa menjadi pembina atau kah tidak. Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dapat diartikan undang-undang ini tidak melarang bupati sebagai pembina, tetapi sebagai pengurus, undang-undang ini melarangnya,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah juga memperkuat bahwa Unipa adalah milik Pemkab Sikka, maka Bupati Sikka bisa sebagai pembina yayasan.
Kendati demikian, ketika disandingkan dengan fakta yang ada sekarang, jelas berbeda. Dimana tidak ada hubungan hukum antara Pemda Sikka dan Yayasan Nusa Nipa. Hal ini terjadi, karena Bupati Sikka tidak duduk dalam organ yayasan sebagai pembina.
“Kalau kita sebut Alexander Longginus sebagai Ketua Dewan Pembina, dia bukan Bupati Sikka. Dia Bupati Sikka pada 2003-2008, sehingga rekomendasi DPRD saat itu agar Bupati dan Wakil bupati Sikka sebagai pembina dijalankan karena dia saat itu menjabat sebagai bupati. Tetapi apakah setelah 2008, Alex Longginus tidak bupati lagi dan digantikan Sosimus Mitang sebagai pembina di Yayasan Nusa Nipa, jawabanya adalah tidak. Lalu, setelah yang menggantikan Pa Sosi sebagai bupati yakni Yosef Ansar Rera menjabat sebagai pembina. Ada dua yakni pembina sebagai anggota tetapi bupati sebagai pembina tidak. Setelah kepemimpinan Pak Robi, apakah juga menjadi pembina, jawabannya tidak. Padahal kita tahu saat ini sudah berada pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang mana tidak melarang sebagai pembina tetapi melarang sebagai pengurus. Ini yang harus dibenahi karena kalau merunut kronologisnya jelas bahwa Yayasan Nusa Nipa adalah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka,” ujar Alfridus Aeng.
Empat Kesimpulan RDP
Pantauan media ini, sebelum menutup pelaksanaan rapat dengar pendapat, Gorgonius Nago Bapa selaku pimpinan rapat, juga membacakan poin-point yang menjadi rekomendasi kedua belah pihak dalam RPD tersebut.
Rekomendasi DPRD Sikka yang dibacakan oleh pimpinan rapat, Gorginius Nago Bapa yakni:
1.Bahwa kita sepakati bersama, Unipa adalah milik Pemda Sikka.
2 DPRD Sikka secara kelembagaan memberi apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Yayasan Nusa Nipa yang selama ini telah bekerja dengan keras sudah menghasilkan anak-anak Sikka menjadi orang-orang terpelajar.
3.Memasukkan kembali nama Pemda Sikka dalam hal ini Bupati Sikka dan Wakil bupati Sikka baik dengan nama atau pun dengan jabatan sebagai pembina yayasan. Sehingga pemerintah daerah terlibat langsung dalam Yayasan Nusa Nipa ini.
4.Bahwa segala aset yang sekarang dikelola oleh Yayasan Nusa Nipa adalah milik Pemda Sikka yang tetap tercatat sebagai aset Pemkab Sikka.