Mengapa Masyarakat Menolak Perpanjangan Masa Jabatan Presiden?
Oleh: Agustinus Siswani Iri (Rohaniawan Keuskupan Larantuka Tinggal di Bandung)
Isu wacana penambahan masa jabatan semakin hangat dibicarakan. Bola isu ini terus digelinding beberapa partai. Ada dua skenario yang diduga telah disiapkan untuk menggolkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen konstitusi yaitu pemilu tidak digelar tahun 2024 dengan alasan penambahan jabatan presiden sekarang 3 tahun lagi hingga 2027 atau skenario berikut pemilu digelar 2024 dengan menambah jabatan 3 periode jabatan presiden.
Mengapa perpanjangan masa jabatan Presiden tidak diperkenankan?
Pertama, alasan historis. Rekam jejak, baik Soekarno dengan Orde Lamanya maupun Soeharto dengan Orde Barunya, awal-awal kekuasaan masih berjalan on the track, Lama kelamaan menjadi tidak bagus. Bibitnya bermula dari menafsirkan isi konstitusi dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Jabatan Presiden sangatlah bergantung pada MPR. Jadi, tidak perlu dibatasi, asal masih dipilih oleh MPR ia dapat terus menjabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Masyarakat atau bangsa ini secara historis trauma dengan kekuasaan yang berkepanjangan. Ada banyak peristiwa dan kejadian yang telah membawa penderitaan akibat kekuasaan yang berkepanjangan. Saya tidak menyebut peristiwa atau kebijakan yang menyakitkan, kita semua pasti sudah tahu betul.
Untuk itu maka dengan melihat pengalaman historis maka masyarakat menolak perpanjangan masa jabatan presiden.
Kedua alasan yuridis. Masa jabatan presiden diatur dengan jelas pada pasal 7 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Hal tersebut merupakan hasil dari amandemen pertama UUD 1945 melalui sidang MPR pada Oktober 1999, yang sebelumnya berbunyi: pada perubahan pertama UUD 1945 mengubah ketentuan pasal 7 yang awalnya berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Dari pasal 7 UUD 1945 diamendemen menjadi bahwa masa jabatan presiden maksimal 10 tahun. Pembatasan masa jabatan presiden seperti yang tertuang dalam pasal 7 merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya penguasaan jabatan kekuasaan secara terus menerus yang diyakini akan menjadi dasar terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan.
UUD 1945 bukan hanya sebagai pembatas norma tertinggi, tetapi juga sebagai etika tertinggi. Sebagai etika tertinggi, sifatnya mengatur, membatasi, menuntun, dan tidak boleh dilanggar.
Melihat secara yuridis ini maka masyarakat menolak perpanjangan masa jabatan presiden karena melanggar konstitusi.
Ketiga, alasan sosiologis. Hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan mayoritas masyarakat menolak usulan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi hingga 2027 dengan alasan apa pun.
Mereka juga menginginkan Pemilu 2024 tetap digelar.
“Menurut mayoritas warga, masa jabatan Presiden Joko Widodo harus berakhir pada 2024 sesuai konstitusi,” ujar Direktur LSI, Djayadi Hanan dalam paparan hasil survei terbaru mereka, Kamis, 3 Maret 2022, seperti yang dikutip dalam Tempo 11 Maret 2022.
Djayadi menyatakan 68-71 persen responden yang mereka wawancarai menolak perpanjangan masa jabatan presiden, baik karena alasan pandemi, pemulihan ekonomi akibat pandemi, atau pembangunan Ibu Kota Negara baru. Sementara responden yang mendukung penundaan pemilu hanya sebesar 26,9 persen. Di sini jelas bahwa masyarakat menolak perpanjangan masa jabatan Presiden.
Bila perpanjangan terjadi maka dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan kehidupan sosial dapat terpecah dan tidak menentu. Secara sosiologis mayoritas masyarakat menolak, maka perpanjangan masa jabatan presiden tidak boleh terjadi.
Apa tujuan utama pembatasan kekuasaan?
Tujuan utama pembatasan masa jabatan presiden adalah untuk menghindari terjadinya tirani kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Perilaku sewenang-wenang mungkin muncul akibat pemusatan kekuasaan secara absolut pada presiden. Sebagaimana diketahui, presiden di negara yang menganut sistem presidensial tidak hanya bertindak sebagai kepala negara, tetapi juga kepala pemerintahan. Oleh karenanya, otoritasnya sangat besar. Sehingga, jika masa jabatannya tidak dibatasi, dengan kewenangan yang ada ditambah penumpukan kekuasaan melalui penempatan orang-orang yang tunduk kepada kehendak presiden, fungsi kontrol (check and balances) bias melemah.
Disitulah penyalahgunaan kekuasaan bias leluasa terjadi, seperti halnya di masa orde baru di mana Negara berhadapan dengan praktik akut korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Indonesia sendiri pernah berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Rezim orde baru telah terjadi pemusatan kekuasaan, lemahnya kekuatan penyeimbang, dan terjadinya kesewenang-wenangan akibat penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu tujuan yang lain adalah regenerasi kepemimpinan.
Memperpanjang dan mempertahankan kekuasaan dan menjegal rotasi para kader partai atau non partai dalam memimpin Negara maka akan berdampak buruk dalam proses regenerasi politik di Indonesia karena politisi-politisi muda dan berbakat akan sulit muncul di masyarakat karena masih banyaknya politisi senior yang tetap berkeinginan untuk mencalonkan diri dalam pencalonan Presiden dan wakil Presiden.
Mungkinkah terjadi amandemen UUD 1945?
MPR RI tidak perlu melakukan amandemen UUD 1945, sebab dari sisi hukum tata Negara saat ini tidak ada hal yang mendesak untuk dilakukan pengaturan ulang soal konstitusi Negara tersebut. Justru jika dipaksakan dan sering terjadi amandemen menyebabkan Negara tidak pernah akan stabil baik dalam sisi hukum maupun politik.
Dari aspek hukum tata negara, tidak ada hal mendesak untuk dilakukan amandemen di mana ada keadaan darurat negara (state of emergency) yang menimbulkan kegentingan yang memaksa.
Melihat realitas sekarang tidak ada kegentingan yang memaksa. Untuk itu maka tidak mungkin melakukan amandemen.
Namun, dari aspek politik dapat bias saja mungkin terjadi karena kepentingan sesaat para politisi yang sedang bermain diruang politik, hanya saja sampai saat ini tidak ada yang mendesak dari sisi politik. Kalau pun dipaksakan terjadi dari sisi kepentingan politik sesaat, itu juga tidak mungkin terjadi karena mayoritas partai menolak perpanjangan jabatan presiden.
Dari hitung-hitungan sisi politik terlihat jelas bahwa mayoritas partai politik tidak setuju untuk memperpanjang masa jabatan Presiden.
Ketika mayoritas partai tidak setuju maka amandemen tidak dapat terjadi. Adapun persyaratan dan mekanisme amandemen UUD 1945 diatur dalam UUD 1945 Pasal 37 tentang PerubahanUndang-Undang Dasar.
Lantas, bagaimana mekanisme dan apa saja syarat amandemen UUD 1945 yang dibutuhkan untuk melakukan amandemen UUD 1945 yaitu usulan perubahan diajukan oleh Minimal 1/3 anggota MPR, alasan terhadap perubahan pasal tersebut haruslah jelas, sidang MPR Harus Dihadiri minimal 2/3 anggota MPR, keputusan perubahan harus disetujui minimal 50% + 1 anggota MPR, pasal mengenai bentuk Negara tidak dapat diubah.